No Widgets found in the Sidebar
asmaragama

“Hiiii…. Mbak Yori saruuu”

Beberapa orang yang aku temui sering kali berujar demikian saat aku mulai nyerocos cerita soal seks. Kadang mikir, apakah seks itu memang sudah dekat dengan yang namanya kotor, jijik, dan nggak pantas untuk dibahas di muka umum. Why?

Anggap seks adalah urusan saru memang tidak terlepas dari perkembangan yang selama ini kita rasakan. Banyaknya film porno dan cerita-cerita seks misalnya. Dua media itu hanya memperlihatkan seks hanya sebatas hubungan kelamin. Polanya sama, Masuk, kejang, crot! Yang berbeda hanya setting tempat dan setting peranya saja. Tanpa memperhatikan sisi keelokan, kelembutan dan keromantisan.

Dan dilalah, makin kesini makin banyak yang suka, makin dijadikan dasar dari segala hubungan seks yang dilakukan. Ibaratnya, jadi referensinya.

Itulah mengapa, kini seks hanya dianggap sebagai pembicaraan yang tabu dan tidak pas untuk didiskusikan.Orang menganggap seks itu hanya sebagai media buang hajat nafsu saja, bukan sebagai media untuk menyatukan diri dengan alam.

Kalopun ada pembicaraan, lebih terkesan cabul dan tidak mendidik.

Beberapa kali mendatangi lokalisasi membuatku melihat bahwa seks haya dipandang sebagai sebuah aktifitas yang tidak ada bedanya dengan buang air kecil di kamar mandi. Ya tak heran demikian karena lokalisasi ialah tempat yang disinggahi oleh mereka-mereka yang menjunjung tinggi nafsu birahi.

Padahal ilmu pengetahuan memposisikan seks sebagai sesuatu yang penting dalam keberlangsungan hidup manusia.

Jika kita mau memahami lebih sebenarnya banyak ilmu yang mendudukan seks sebagai suatu yang sakral. Misalnya, Aliran Tantra yang meyakini bahwa tubuh kita memancarkan energi dan jika dilatih akan mencapai suatu titik ketentraman.

Aliran Tantra meyakini bahwa tubuh memancarkan energi, dan bila tubuh dilatih secara tepat maka ia dapat mencapai suatu titik ketentraman. Tantra sebagai suatu praktik melibatkan individu untuk memahami dunia melalui tubuhnya. Relasi seksual bukan lagi relasi demi alasan prokreasi, atau mencari kepuasan yang dangkal. Relasi seksual bagi para Tantrika adalah suatu penjelajahan spiritual, tubuh adalah citra mungil dari makrokosmos yang tak berhingga. Ajaran Tantra meyakini bahwa ketika tubuh menyatu, sesungguhnya penyatuan tersebut adalah proses penciptaan yang serupa dengan cikal bakal dari keberadaan alam semesta.

Aktivitas seksual tidak lagi dianggap sebagai suatu yang rendah, sebaliknya relasi seksual adalah ritus penyucian, dan cara bagi manusia menyerap energi jagat raya.

Foucault menyatakan bahwa pengetahuan kita tentang seks sarat dengan prasangka. Padahal, bagi Foucault, tidak cukup kita memahami tubuh dan perilaku seksual melalui narasi ilmu pengetahuan. Relasi seksual adalah suatu pengalaman. Suatu peristiwa yang menempatkan seseorang pada ruang dan waktu yang spesifik. Sebuah momen ketika seseorang sungguh-sungguh merasakan denyut kehidupan. Sensasi semacam ini, tidak dapat dirasionalisasikan. Bagi Foucault, relasi seksual adalah suatu seni, seni yang erotis. Relasi seksual hanya dapat dipahami seperti halnya kita mengalami sesuatu yang estetis, ada intensitas, keterlibatan emosi, rasa haru atau senang.

Ritualisasi seksual juga diungkap dalam Serat Centhini, termasuk soal tata krama melakukan hubungan seks antara suami istri. Dalam berhubungan, misalnya harus empan papan. Maksudnya, mengetahui situasi, tempat, keadaan, tidak tergesa-gesa, dan juga merupakan keinginan bersama.

Dalam serta Centhini II (Pupuh Asmaradana) diulas pula bentuk-bentuk pose hubungan seksual yang seharusnya dilakukan. Semua itu dimaksudkan agar pasangan dapat mencapai kepuasan bersama-sama. Hubungan seksual tidak hanya sekedar pemuas nafsu lelaki maupun perempuan, tetapi juga sebagai bentuk ungkapan perasaan cinta kasih, prokreasi dan sekaligus sebagai wahana beribadah.

Selain soal tata krama bersenggama, banyak juga literatur Jawa yang menekankan bahwa bersucilah sebelum melakukan persenggamaan karena itu bagian dari ritual sakral bertemu Sang Maha Pencipta. Namun sayangnya, hanya sebagain orang saja yang mau meluangkan waktu dan energi untuk mempelajarinya. Karena sebagian besar orang lebih memilih cara yang instan, ya hanya melihat tayangan video porno yang dipikirknya sebagai tuntunan dalam melakukan aktivitas seksual yang ideal.

Maka seperti judul di atas, apakah masih memungkinkan menjadikan aktivitas seksual sebagai sebuah ritual yang sakral? Jawabannya mungkin, bagi mereka yang mau belajar dan memaknai senggama dari sudut pandang yang lebih elok.

By celotehyori

Diana Mayorita, yang lebih sering dipanggil dengan YORI. Saat ini berprofesi sebagai psikolog klinis yang concern pada issue seks & relationship. Saat ini juga bersama tim sedang mengembangkan sebuah platform digital untuk memudahkan akses layanan psikologi di Indonesia. Selain itu, juga aktif dalam berbagi edukasi psikologi dan seksologi melalui berbagai media.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.