No Widgets found in the Sidebar

 

Yey!! Ini adalah minggu terakhir aku praktek di Rumah Sakit. Seneng rasanya masa praktek akhirnya sudah usai. Banyak pengalaman yang telah aku dapatkan selama praktek khususnya di RS. Ada suka dan pastinya ada duka. Let me share yaa..

SUKA

  1. Sukanya dalam masa praktek ini adalah aku menjadi tau keadaan lapangan yang sebenernya, khususnya kondisi Rumah Sakit dan layanan jasa Psikolog itu sendiri. Sebelum aku praktek S2, aku juga pernah punya pengalaman ambil data untuk skripsi di rumah sakit. Sebagian besar rumah sakit di Semarang memang belum menyediakan layanan psikolog secara khusus bagi pasien, kalo pun ada itu pasti rumah sakit besar atau yang high end. Jadi biasanya untuk layanan psikolog, pihak rumah sakit akan memanggil secara khusus dan hanya pada kasus tertentu. Jadi memang di Semarang sendiri, menurut aku jasa psikolog di rumah sakit masih belum dianggap sebagai layanan primer, jadi hanya layanan sekunder saja gak seperti di Jogja yang di tingkat Puskesmas aja udah ada layanan psikolognya.
  2. Aku juga menjadi tau secara real bahwa kondisi kesehatan orang itu sangat dipengaruhi oleh psikologisnya, kedua hal itu sangat amat mempengaruhi satu sama lain. Proses kesembuhan klien memang sangat dipengaruhi dari kestabilan kondisi psikologis.
  3. Mendampingi orang sakit itu memang perlu siap dalam keadaan apapun. Jadi suatu ketika aku pernah menjenguk seorang nenek-nenek yang sudah tua renta dan mengeluh kesakitan. Di tengah keluhannya tersebut ternyata si nenek pengen banget turun dari bed dan pipis di kamar mandi. Untung aja waktu itu aku sama Suster Stella, jadi dengan sigap Suster langsung membantu si nenek turun dari kasur dan menitahnya ke kamar mandi. Sedangkan aku, membantu membawakan infusnya biar gak lepas hehe..

DUKA

  1. Buat aku pribadi, membidik kasus secara spesifik di rumah sakit itu butuh usaha yang ekstra. Selain gak semua pasien memiliki permasalahan psikologis yang berat, ternyata waktu perawatan yang relatif singkat kadang bikin gigit jari sendiri, hehe. Jadi beberapa calon klienku sudah pulang pada hari kedua, padahal di hari pertama aku baru pendekatan dan memetakan permasalahan psikologisnya serta rancangan terapinya apa. Begitu besok mau di eksekusi eh ternyata bed sudah kosong atau diganti oleh orang lain. Aiiih matiiiik. Mulailah semua dari awal dan gerilya lagi.
  2. Bagi yang gak kuat liat darah, praktek di rumah sakit itu menjadi tantang tersendiri. Aku pribadi berani liat darah, tapi gak berani liat luka basah. Jadi ada pengalaman ketika aku sendang mendampingi pasien yang akan diamputasi karena penyakit diabetes. Sebelum di operasi, dokter dan perawat membuka perban dan membersihkan luka si pasien. Aduhh aku gak kuat liatnya.. bukan jijik tapi ngeriiiiii…. Dari pengalaman itu aku juga belajar untuk menjadi netral, jadi walau ngeri tetep aku tahan dan bersikap biasa aja tanpa bereaksi menutup mata ataupun bergidik ngeri.
  3. Praktek di rumah sakit itu sangat menguras energi psikis. Bagi aku pribadi, praktek yang terakhir ini menguras energi lebih banyak daripada praktek – praktek sebelumnya. Melihat kondisi pasien yang lemah, lesu, dan merintih kesakitan itu secara tidak langsung menyedot energi lebih banyak. Terkadang ketika pendampingan, aku menjadi larut pada apa yang dirasakan pasien. Sebenernya, bagi psikolog yang jam terbangnya udah tinggi kondisi demikian bisa sangat dihindari, seperti perumpamaan “boleh larut, tapi jangan hanyut”.

Dibalik suka duka yang aku alami selama praktek di Rumah Sakit, ada satu pelajaran yang sangat penting yang aku ambil. Bahwa kesehatan itu memang sangat amat berharga. Salah satu cara agar membuat kesehatan tidak terlalu mahal ya dengan cara menjaganya. Walau usia baru 24 tahun, dengan pengalaman mendampingi pasien diabetes, pasien tipes, dll aku menjadi mulai menjaga pola makan, i think i don’t need seblak anymore haha. Selain itu mengkonsumsi obat secara sembarang juga bikin petaka di kemudian hari. Aku saranin buat temen-temen jangan terlalu sering mengkonsumsi obat warung, seperti panad*l, param*k, konid*n, dll. Obat-obat kaya gitu memang murah dan memberikan efek yang cepet, tapi efek jangka panjangnya bikin sengsara.

By celotehyori

Diana Mayorita, yang lebih sering dipanggil dengan YORI. Saat ini berprofesi sebagai psikolog klinis yang concern pada issue seks & relationship. Saat ini juga bersama tim sedang mengembangkan sebuah platform digital untuk memudahkan akses layanan psikologi di Indonesia. Selain itu, juga aktif dalam berbagi edukasi psikologi dan seksologi melalui berbagai media.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.