Beberapa waktu yang lalu, ada seseorang pria yang mengirimkan message melalui aplikasi chat. Kurang lebih seperti judul yang aku tulis. Pertanyaannya memang belumaku jawab secara gamblang, karena chat tidak berlanjut setelah aku bertanya “Kronologisnya gimana ya?”
Nah, karena aku tidak tahu menahu gimana jalan ceritanya sampai pertanyaan itu muncul, maka aku nggak bisa bantu suggest apa-apa. Jadi lewat tulisan ini aku akan sedikit menjelaskan tentang apa itu Friends With Benefit Relationship atau yang sering disingkat FWB ini secara umum.
Apa itu Friends With Benefit?
Awalnya, jujur aku bingung ketikan ditanya tentang FWB itu apa. Tapi setelah tahu kepanjangannya, aku jadi ingat salah satu film yang diperankan oleh Justin Timberlake dan Mila Kunis dengan judul yang serupa dengan bahasan ini dan satu lagi judul film No Strings Attached yang cukup terkenal.
Bagi yang belum pernah nonton filmnya atau familiar dengan relasi jenis ini pasti bingung kan ya.. Namanya temen itu saling menguntungkan dengan saling tolong menolong satu sama lain. Tapi yang dimaksud dengan FWB lebih sekedar saling tolong menolong, tapi sudah sampai pada relasi seksual.
“Friend with Benefits is two friends who have a sexual relationship without being emotionally involved” – urbandictionary
Jadi gampangnya, Friends With Benefits ialah keadaan dimana dua orang teman memutuskan untuk saling behubungan seksual tanpa adanya ikatan emosional atau dua orang yang melakukan hubungan seksual secara casual tanpa adanya komitmen untuk berada dalam suatu ikatan.
Cuma temenan, bukan pacaran, tapi begituan.
FWB ini bisa terjadi tidak hanya pada heteroseks saja, namun juga bisa pada homoseksual dan orientasi seks lainnya. Yang menjadi ciri dalam relasi ini ialah sama-sama bersedia menjalin hubungan tanpa adanya romantisme, tidak memiliki keterikatan pada komitmen hubungan layaknya hubungan pacaran serius (yakalii.. pacaran aja ada yang cuma main-main hihihi…) .
Latar belakang memilih untuk FWB – an
Tentunya dalam setiap tindakan dilandasi dengan tujuan, alasan or something else dong ya.. Nah menurut survey yang aku dapet dari mince (eh kok mince ya haha) maksudnya dari beberapa survey bahwa kebanyakan dari mereka yang menjalani relasi ini atas dasar untuk kesenangan belaka. Sehingga sebelum memutuskan untuk jalan, kedua belah pihak saling berjanji untuk “no heart and hurt feeling”.
Namun, disisi lain ada juga yang menyebutkan bahwa yang melandasi seseorang menempuh relasi ini ialah karena menjalani hubungan percintaan merupakan hal rumit dan penuh dengan drama. Sehingga mereka yang memilih untuk FWB-an (konon) tidak akan punya perasaan apa-apa saat temen FWB-annya FWB-an lagi sama orang lain yang FWB-an juga. Haha mumet!
Perbedaan FWB menurut laki-laki dan perempuan
Ternyata fenomena FWB ini sudah banyak yang meneliti, baik dari dalam dan luar negeri, salah satunya ialah penelitian yang dilakukan di Inggris dan dimuat dalam Journal Of Sex Research. Dalam penelitian itu menyebutkan bahwa perbedaan laki-laki dan perempuan dalam menjalani relasi seks ini ialah kebanyakan laki-laki menginginkan status tidak berubah hingga waktu yang lama bahkan seterusnya, sedangkan pada perempuan seiring waktu mereka mulai menunjukkan hasrat untuk merubah hubungan tanpa komitmen menjadi ke arah yang lebih serius ke dalam hubungan romantis.
Dari hasil penelitian tersebut kita dapat mengambil garis besarnya, salah satu pihak (kebanyakan perempuan) ingin merubah relasi ini menjadi cinta. Karena menurut pepatah Jawa, witing tresno jalaran soko kulino.
Lho? Kenapa laki-laki bisa tegas tapi perempuan tidak?
Jangan judgemen dulu, pastinya hal itu ada penjelasannya.
Sebenarnya ini ada sangkut pautnya dengan relasi seks yang dijalani. Tidak bisa dipungkiri bahwa orgasme bisa memberikan kenyamanan secara batin, emosi dan psikologis. Dibalik itu semua terdapat kinerja hormon yang mempengaruhi kinerja emosi. Hormon yang itu salah satunya ialah hormon cinta atau dikenal dengan hormon oksitosin. Fungsi utama hormon oksitosin ini bertanggung jawab untuk menciptakan emotional bounding. Itulah kenapa saat saling menikmati hubungan seks, muncul rasa sayang dan bisa muncul rasa cinta. Yang tadinya cuma 1% bisa menjadi 89%. Hormon ini memang dominan pada wanita karena hormon kasih sayang ini juga muncul saat seorang wanita memberikan ASI pada anak yang mencetus adanya ikatan emosi antara ibu dan bayi.
Maka tak heran, bila sudah terjadi beberapa kali relasi seks yang berujung pada orgasme, akan muncul rasa yang lebih dari teman. Apalagi setelah orgasme dilanjut dengan pillow talk, saling mengobrol untuk menceritakan kepenatan hari dan menceritakan tentang satu sama lain. Maka dari situlah drama dimulai. Mulai dengan memberi sedikit perhatian “udah makan belum”, “jangan pulang kantor larut malem ya…” dan tipe ungkapan perhatian lainnya.
Mungkin bagi pria ini adalah hal yang biasa dan tidak menyalahi perjanjian di awal. Namun gimana dengan wanita? Kenyamanan emosional seringkali mengalahkan logika. Karena sebagian besar wanita seringkali masih berpikir dengan hati.
Siapa pihak yang rugi?
Bisa ditebakkan siapa yang rugi? Yap! Mereka yang gampang baper. Aku nggak bilang kalo selamanya wanitalah yang rugi, karena saat ini juga banyak pria yang otaknya ada di hati.
Memang setiap hubungan selalu ada risikonya, namun dibalik itu semua jika dalam FWB terjadi kehamilan maka pihak perempuanlah yang banyak menanggung risiko. Risiko ditinggal, risiko tidak diakui, dan segala risiko lain yang melekat.
Begitupula dengan laki-laki, jika menjalani relasi FWB-an berarti menunjukkan pria yang tidak pantas untuk dicintai. Ada kutipan bagus yang aku comit dari internet,
“friends with benefits” in reality is telling you to your face that you’re good enough to f*ck, but not good enough to invest feelings in.
Loh?! Di luar negeri aja banyak yang jalanin hubungan tanpa status fine-fine aja tuh? Apa salahnya untuk dicoba?
Ya memang di luar negeri sana banyak yang menjalani hubungan tanpa adanya komitmen, bahkan tanpa secara legal hingga punya anak. Tapi, tunggu dulu.. ingatlah pola budaya, pola hidup kita orang timur jauh berbeda dengan mereka. Kita tidak bisa menutup mata bahwa kesetaraan gender di luar negeri sudah lebih baik dari pada di negeri tercinta ini. Kebanyakan mereka menjalani FWB memiliki tanggung jawab yang sama antara laki-laki dan perempuan.
Aku sempat bertanya dengan saudara yang udah lama tinggal di luar negeri, bahwa kebanyakan pasangan di sana memutuskan untuk tidak berkomitmen secara legal karena nikah punya beban pajak yang besar dan juga karena alasan menikah itu ribet. Dari sudut pandang mereka bahwa komitmen itu tidak hanya bicara soal legalitas, yang terpenting adalah tanggung jawab. Jadi daripada buang waktu dan energi, mereka memilih untuk living together.
Jadi pilih onani atau FWB-an ?