No Widgets found in the Sidebar

Beberapa waktu yang lalu aku sempat menuliskan tentang Birth Plan. Yap, itu merupakan salah satu wish list yang aku harap bisa terjadi dalam proses kelahiran anak pertamaku. Namun kembali lagi, manusia berencana Tuhan yang menentukan. Dan pada tulisan kali ini aku akan bercerita tentang rencana Tuhan yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya terjadi padaku.

HPL sudah semakin dekat, tapi mules-mules tak kunjung datang. Di hari kontrol terakhir dengan dokter kandungan, saat pemeriksaan dalam dokter mengatakan bahwa posisi kepala bayi sudah sangat dekat dan posisi juga sudah optimal, tinggal menunggu pembukaan saja. Dokter menyarankan untuk melakukan tindakan induksi di klinik H+1 HPL. Aku dan suami tentu saja setuju, karena dokter mengatakan dengan sangat optimis bahwa persalinan akan berjalan dengan lancar. Dengan adanya rencana seperti itu, segala sesuatu sudah aku persiapkan. Mulai dari tas bersalin, mental dan finansial. Selain itu, karena sedang di masa pandemi, maka pihak klinik meminta untuk melakukan swab test. Sebenarnya swab bisa dilakukan ketika di klinik, namun karena ada kondisi yang cukup membuat kepikiran akhir-akhir ini aku memutuskan untuk insiatif swab test mandiri di lab kesehatan dekat rumah.

Oh ya, suamiku tiga hari sebelumnya mengalami panas tinggi hingga 38,6 drajat celcius. Suamiku sudah punya firasat kalau ia positif covid, namun aku saat itu masih denial bahwa itu sakit panas biasa dan bisa turun hanya dengan minum paracetamol. Namun hari berikutnya batuk dan pilek mulai menyerang. Suamiku kalo sudah batuk itu lama sekali sembuhnya, jadilah aku makin kepikiran. Apalagi kondisinya kelihatan sekali mengalami penurunan walau tidak disertai dengan sesak nafas. Di saat bersamaan kondisiku masih aman-aman saja atau tidak bergejala. Akhirnya kami melakukan swab test dan hasilnya kami positif.

Tentu saja dengan kondisi ini pasti semua rencana berubah 180 drajat. Aku segera mengabarkan pihak klinik bahwa aku positif covid, dan pihak klinik menyarankan untuk bersalin di rumah sakit terdekat. Tapi kembali lagi, aku tetap ini ditangani oleh dokter kandunganku. Bagaimanapun aku sudah trust dengan beliau dan akan sulit rasanya jika harus bersalin dengan dokter yang berbeda lebih-lebih yang tak aku kenal sebelumnya.

Karena aku tak punya nomer WAnya maka aku berusaha mengontaknya melalui DM instagram, dan beliau membalas bahwa tetap bisa kontrol dengannya namun dilakukan di rumah sakit tempatnya praktik. Mendapat respon tersebut tentu saja aku senang karena beliau masih bersedia menanganiku yang sedang postif covid ini. Dengan kondisi kami yang demikian akhirnya kami nekat ke rumah sakit. Tentu saja ini menjadi realitas baru yang akhirnya kami pahami bahwa mereka yang positif covid memang benar-benar ada di sekitar kita. Kami tetap harus keluar dari rumah karena ini kondisi yang tak bisa hanya menunggu begitu saja.

Tibalah waktu kontrol dokter di jam yang sudah ditentukan. Dokter mengatakan bahwa rumah sakit tempatnya praktik ruang isolasinya sudah penuh, sehingga tak bisa ditangani oleh beliau. Dengan terpaksa beliau memberikan surat rujukan untuk penanganan di rumah sakit pemerintah yang ia tahu terdapat ruangan isolasi. Oh ya, di pemeriksaan terakhir dokter menyarankan untuk melakukan operasi SC saja karena untuk dilakukan induksi sudah sangat berisiko dengan kondisi detak jantung janin yang sudah relatif tinggi. Ya di kehamilan yang sudah lewat HPL janin rentan stres, dan di kondisi yang sedang aku alami tentu saja membuatku cukup stress.

Di perjalanan pulang aku dan suami berdiskusi kira-kira ke RS rujukan atau tidak. Namun setelah dipikir-pikir akhirnya kami memutuskan untuk ke RS tempat awal mula aku priksa. Aku menghubungi dokterku sebelumnya dan menceritakan secara singkat kondisi yang aku alami. Beliau mengatakan bahwa perlu dicek dulu dan akau bisa masuk melalui IGD apakah kondisiku sudah masuk ke kondisi gawat darurat atau tidak. Setelah dilakukan pengecekan hasilnya masih baik-baik saja dan belum masuk dalam kondisi emergensi, jadi diminta untuk menunggu sampai 3 hari kedepan dan dilakukan evaluasi.
Saat itu kondisiku dikatakan secara psikologis sudah kurang baik. Usia kandungan lebih HPL membuat aku khawatir, lebih-lebih tingkat stress janin juga ikut meningkat seiring bertambahnya usia.

Akhirnya aku dan suami sepakat untuk mengikuti saran dokter Dewi untuk melakukan tindakan SC. Bagaimanapun kondisi janin yang utama. Aku sudah siap dengan berbagai risiko yang melekat. Dengan kondisi masih positif covid, otomatis setelah bayiku lahir aku tidak bisa langsung skin to skin dengannya sampai aku berstatus negatif.

Walau aku sudah mengusahakan untuk melahirkan secara pervaginam, namanya manusia hanya bisa berencana dan Tuhan yang menentukan. Dengan segala hal yang telah aku lalui sebelumnya, aku tidak pernah menyesalinya. Aku tetap bahagia karena sudah mengupayakan yang terbaik.

Cerita pengalaman melahirkan secara SC akan aku ceritakan di postingan berikutnya.. Caw!

By celotehyori

Diana Mayorita, yang lebih sering dipanggil dengan YORI. Saat ini berprofesi sebagai psikolog klinis yang concern pada issue seks & relationship. Saat ini juga bersama tim sedang mengembangkan sebuah platform digital untuk memudahkan akses layanan psikologi di Indonesia. Selain itu, juga aktif dalam berbagi edukasi psikologi dan seksologi melalui berbagai media.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.