By the way, beberapa waktu yang lalu aku baru saja menjadi moderator acara diskusi salah satu lembaga di Semarang yang mengangkat tema tentang penutupan lokalisasi dengan tajut acara Lika Liku Lokalisasi. Ya bagi teman-teman yang tinggal di semarang, pasti beberapa bulan terakhir ini sudah mendengar tentang selentingan penutupan lokalisasi sunan kuning di akhir tahun 2018 ini. Ya rumornya, lokalisasi sunan kuning atau daerah argorejo tersebut akan dibuat menjadi wisata religi, karena di dalamnya terdapat pemakaman Sun Kun Ing, tokoh penyebar agama Islam yang beretnis Tiong Hoa.
Akan tetapi, dibalik rencana penutupan tersebut tentu saja menjadi polemik tersendiri. Pro dan kontra itu pasti ada, akan tetapi rencana penutupan yang relatif cepat ini membuat beberapa pihak merasa ini hanyalah keputusan yang hanya didasarkan kepentingan politik, bukan kepentingan masyarakat banyak. Ya karena isu penutupan lokalisasi ini seringkali muncul ketika musim-musim politik seperti ini.
Untuk itulah diadakan diskusi. Sebenarnya apakah penutupan lokalisasi itu merupakan solusi terbaik atau justru dengan penutupan timbul menjadi permasalahan baru?
Mas Inang Winarso menjadi pemantik diskusi dalam acara tersebut. Sebelum masuk ke inti diskusi, Mas Inang menjelaskan terlebih dahulu tentang sejarah kemunculan prostitusi di Indonesia. Dari penjelasannya yang aku tangkap, terdapat dua perbedaan yang sangat signifikan ketika zaman kerajaan dan pada zaman penjajahan. Di zaman kerajaan, rakyat kelas bawah justru menyerahkan anak-anaknya untuk dijadikan selir raja, ya secara tidak langsung anak gadis ditukar dengan harta benda serta status sosial yang akan keluarga dapatkan, sedangkan pada zaman penjajahan justru sebaliknya gadis-gadis desa direbut secara paksa oleh penjajah untuk dijadikan sebagai pelacur untuk mandor-mandor serta tukang-tukang yang membuat infratruktur seperti jalan raya, rel kereta api, pelabuhan dan lainnya. Sehingga tak heran, sampai saat ini bila kalian lihat di kawasan stasiun, pelabuhan atau terminal bis terdapat praktik-praktik prostitusi. Seperti di Jogja itu Sarkem, Surabaya Doly, Saritem di Bandung, Karamat Tunggak di Jakarta, dsb. Secara tidak langsung kawasan prostitusi tersebut ialah peninggalan sejarah.
Namun hal tersebut sepertinya berbeda dengan yang ada di Semarang, justru lokalisasi Sunan Kuning merupakan sebuah tempat yang memang dikhususkan untuk mengumpulkan prostitusi2 kecil yang tersebar di semarang. Sehingga Sunan Kuning dijadikan lokalisasi. Dan sejarah adanya Sunan Kuning belum banyak dibahas, sehingga sedikit sekali literatur yang ada.
Dalam diskusi ini disepakati menggunakan paradigma faktual dan tidak menggunakan paradigma berpikir moral dan agama.
Setelah membahas tentang sejarah kemunculan prostitusi, kemudian Mas Inang berlanjut pada analisa pelacuran.
Mengapa sih sampai saat ini pelacuran sulit dihapuskan? –> karena tentu saja pelacuran adalah bisnis yang sangat menguntungkan
Kenapa menguntungkan? –> jumlah pembeli lebih banyak dibandingkan penjual. Hukum ekonomi!
Kenapa lebih banyak pembeli? –> pembeli seks tidak pernah mendapatkan sanksi sosial
Kenapa tidak mendapatkan sanksi sosial? –> karena laki-laki yang membeli seks itu dianggap wajar, keren, bahkan hebat
kenapa wajar? –> budaya patriarki.
Ya tentu saja bila lingkaran setan ini terus dibiarkan maka permasalahan tidak akan pernah selesai. Tentu saja selama ini yang ditangkap dan dihukum adalah wanita sebagai pelacurnya, bukan laki-laki yang membeli seks. Lalu bila ingin menghapuskan pelacuran mengapa tidak mengurangi si pembeli yang notabene juga memiliki andil dalam terciptanya pelacuran? Ya, pemerinta perlu berpikir untuk membuat peraturan mengkriminalisasi para pembeli seks. Ya mohon maaf, faktanya mereka yang sering menjadi polisi moral bagi pelacur juga sebenarnya mereka ialah pembeli. Ya pembeli bertopeng agamis.
Kita sebagai anak muda bisa mulai berpikir dan menyuarakan bahwa banyak lo diluar sana anak-anak kecil dan remaja yang sudah dibidik menjadi pelacur muda. Hal ini bukan semata-mata karena mereka sendiri, tapi ya sudah ada sistem yang tersebut secara tidak sadar dalam masyarakat bila anak tidak mampu untuk melanjutkan sekolah maka menjadi sasaran empuk untuk dijadikan pelacur, entah dengan berbagai cara, seperti ditipu, bujuk rayu, dan bahkan dipaksa secara brutal.
Dan bila pemerintah dan kita semua sudah mulai aware dan peduli bahwa semata-mata kemunculan pelacuran itu ternyata juga ada andil dari para pembeli seks yang notabene laki-laki maka perlahan pelacuran akan hilang dengan sendirinya. Mas inang menganalogikannya dengan Bisnis Wartel. Dahulu kala orang berbondong-bondong membuka bisnis wartel karena kebutuhan pasar yang tinggi, namun sekarang ketika semua orang sudah bisa memenuhi kebutuhannya sendiri dengan telpon genggam, maka dengan sendirinya bisnis wartel tersebut sirna..
Jadi bagaimana dengan kalian? Apakah setuju dengan penutupan lokalisasi tanpa ada persiapan atau memilih untuk mendorong pemerintah untuk membuat peraturan untuk mengkriminalisasi para pembeli seks?