Sebenarnya agak aneh rasanya untuk menceritakan soal pengalaman ini karena jujur saja aku orangnya tidak mudah untuk melabel suatu kejadian menjadi sesuatu yang traumatik. Sebutan secondary trauma ini aku dapatkan ketika aku mengajukan diri pada suatu workshop pemulihan trauma dan fobia yang baru ikuti awal minggu ini.
Sebelum aku ingin menjelaskan tentang apa itu trauma dan bagaimana seseorang bisa mengalami suatu trauma.
Psychological trauma is the unique individual experience of an event or of enduring conditions in which the individual’s ability to integrate his or her emotional experience is overwhelmed (ie his or her ability to stay present, understand what is happening, integrate the feelings, and make sense of the experience), or the individual experiences (subjectively) a threat to life, bodily integrity, or sanity (Pearlman & Saakvitne, 1995).
Intinya ialah seseorang bisa mengalami trauma diakibatkan karena kesulitan dalam mengintegrasikan suatu kejadian yang penuh stressor dengan kesadaran. Sebenarnya orang tersebut memiliki kemampuan namun pada kondisi kewalahan.
Suatu peristiwa traumatik bagi seseorang itu berbeda-beda, tidak semua kejadian penuh kekerasan yang menyebabkan orang bisa mengalami trauma. Tapi memang kebanyakan peristiwa yang mengakibatkan suatu trauma ialah peristiwa-peristiwa yang menakutkan, menegangkan dan kondisi-kondisi mengancam yang sulit diatasi. Orang mengalami trauma ketika tidak terintegrasinya pikiran dan perasaan terkait peristiwa tersebut. Akibatnya, seseorang yang mengalami trauma mungkin akan kesulitan untuk berpikir secara logis tentang apa yang terjadi atau terlalu mengaitkan emosi pada peritiwa tersebut.
Ketika pikiran sudah diliputi oleh trauma, maka peristiwa traumatik tersebut akan sulit disimpan menjadi suatu peristiwa di masa lalu, sehingga selalu dianggap sebagai peristiwa masih tetap hadir atau masih terjadi. Sehingga tak mengherankan orang yang mengalami trauma akan berperilaku dan merasa seolah-olah trauma masih terjadi. Secara mentak mereka akan selalu dalam kondisi siaga dan waspada. Untuk mengatasi hal tersebut, orang yang mengalami trauma akan menggunakan pertahanan diri dengan menjadi apatis atau dengan menghindar.
Secondary trauma sendiri ialah trauma tidak langsung yang dapat terjadi ketika seseorang dihadapkan pada situasi traumatik yang dialami oleh orang lain. Biasanya secondary trauma ini dialami oleh tenaga kesehatan, pekerja sosial, pendamping korban, dll.
Lalu bagaimana dengan yang aku alami sendiri? Hmm.. seperti yang aku cerita tadi bahwa aku tidak pernah menganggap suatu peristiwa sebagai suatu trauma. Itu sebenarnya bagian dari sikap mental agar tidak mudah melabel suatu peristiwa. Kejadian yang akhirnya aku accept bahwa ini sebagai secondary trauma ialah karena peristiwa itu sering sekali muncul dipikiranku. Intensitasnya cukup sering walau timbul tenggelam. Bisa jadi karena kejadiannya masih anget, ya kurang lebih terjadi pada dua minggu yang lalu.
Jadi singkat cerita, bulan juli lalu aku baru saja mendampingi seorang anak usia 14 tahun melahirkan. Anak itu postur tubunya kecil dan kandungan yang usia 6 bulan itu juga terlihat kecil. Karena kondisi tidak memungkinkan untuk diteruskan, maka dilakukan tindakan pengguguran secara medis. Semua proses kelahiran hingga bayinya menghembuskan nafas aku melihat semua. Namun bukan proses kelahiran yang keluar darah itu yang membuatku ngeri, tapi ketegangan suasana yang ternyata masih membayangiku. Sempat aku merasa ngeri dan takut untuk melahirkan, tapi rasa itu sudah mulai hilang. Namun rasa tegang ketika mendampingi persalinan itulah yang masih sering terlintas.
Pada saat itu sebenarnya aku dalam kondisi yang baik-baik saja walau agak flue. Aku berusaha untuk tenang saat itu dan menguatkan diri. Tapi ternyata itu menyedot banyak energi. Aku masih bertahan bahwa aku baik-baik saja dan tidak mengalami trauma apapun, namun seiring berjalannya waktu terima tidak terima bahwa aku sudah terpapar peristiwa traumatik anak itu.
Dari itulah akhirnya aku memberanikan diri menjadi volunteer untuk praktek tentang psikoterapi dengan pendekatan NLP. Aku menyadari bahwa kondisi ketegangan itu terus melekat karena aku merasa saat itu hanya aku sendirian yang mendampingi anak tersebut. Disana ada dokter dan beberapa perawat, namun yang sangat intens untuk mendampingi anak tersebut hanyalah aku seorang. Energiku tersedot habis sehingga ada momen aku merasa tidak berdaya. Disitulah momen kritis terbuka.. Kesadaranku tidak penuh sehingga memory ketagangan yang terjadi mengendap di bawah sadar.
Dari kejadian itu aku mulai belajar menerima bahwa it’s okay not to be okay.. Namun setelah aku menyadari jika aku sedang tidak baik-baik saja aku akan mencari penyelesaian atau pertolongan karena aku masih manusia biasa yang butuh orang lain.
Sudah menjadi risiko sebagai psikolog dan pendamping korban mengalami secondary trauma, namun bukan berarti aku menghindari menangani case-case yang demikian. Justru dengan pengalaman ini aku menjadi lebih siap dan bisa mengantisipasinya.
“Your truma is not your fault, but your healing is your responsibility”