No Widgets found in the Sidebar

Banyak orang bilang kalo waktu itu berjalan sangat cepat. Gak kerasa tiba-tiba udah malem aja. Biasanya, kecepatan waktu akan bertambah dua kali lipat ketika musim liburan dateng, apalagi long weekend kek ginian.

Ngomong-ngomong soal waktu, ternyata ada kalanya waktu terasa sangat lambat. Lambatnya waktu terasa bahkan sampai perdetiknya. Waktu akan terasa sangat lambat ketika kita sedang dalam peristiwa yang tidak diinginkan, misal nih ketika sidang skripsi, nungguin jemputan pacar, atau bisa juga nungguin bis kosong yang lewat ketika jam padat. Namun ada satu peristiwa lagi yang membuat waktu terasa sangat amat lambat. Yaitu ketika berada di panti Jompo.

Seumur-umur, aku baru dua kali berkunjung ke panti Jompo. Yang pertama di akhir tahun 2013, saat itu adalah kunjungan ke sebuah Panti Jompo yang berada di Jogja. Kemudian yang kedua kali adalah saat aku kerja praktek di Panti Jompo daerah Semarang. Sebenernya semua panti jompo sama yaitu sebuah panti yang ditinggali para lansia. Namun, setiap panti selalu memiliki karakteristik yang berbeda. Mulai dari sisi pelayanan, daya tampung, fasilitas, lokasi, dll.

Panti jompo yang pertama kali aku kunjungi adalah panti jompo yang di kelola oleh pemerintah daerah. Lokasinya cukup terpencil dan akses jalannya pun sebagian masih kerikil. Walaupun untuk mengaksesnya butuh perjuangan, namun ketika sudah sampai di lokasi pemandangan dan hawa sejuk sebuah desa masih menyambutku. Sejuuk lah pokokmen. Tapi, dibalik kesejukan alam itu ada hal yang membuatku sedikit mengernyitkan dahi. Ternyata daya tampung panti Jompo tersebut sudah melebihi batas, sehingga dalam satu pondokan terasa cukup sesak. Banyaknya penghuni panti tidak sebanding dengan petugas. Jadi, bisa dibayangkan bagaimana kerepotan dan kurang terpenuhinya pelayanan secara maksimal. Untuk kunjungan awal ini terasa singkat, karena memang diberi kesempatan hanya 3 jam saja.

Namun pengalaman kedua ini terasa sangat amat berbeda, yaa ketika praktek di sebuah Panti Jompo yang berada di tengah kota.

Sepintas, bangunan panti ini terkesan masih oldschool.. Kesan kunonya masih sangat terasa, walau sudah dicat dengan warna yang cerah. Berbeda dengan panti sebelumnya, panti ini dikelola oleh pihak swasta. Semua terlihat sangat terurus dengan rapi. Ada tamannya, ada air terjun mininya, fasilitas keamanan 24 jam serta beberapa perawat yang sesekali bersliweran dengan seragam batiknya. Tipikal penghuninya juga berbeda. Di panti yang pertama, sebagian besar penghuninya beretnis Jawa, sedangkan pada panti yang kedua sebagian besar beretnis Tionghoa.

Pada kesempatan kerja praktek ini lah persepsiku terhadap waktu berubah. Di hari-hari awal, semua masih terasa biasa saja, seperti keseharianku di kampus. Melihat derap kaki yang cepat dan gerak tubuh yang enerjik sudah menjadi makanan sehari-hari. Namun berbeda ketika memasuki hari ketiga hingga hari ketiga puluh. Waktu terasa sangat amat lambat.

Perubahan persepsi terhadap waktu ternyata sangat dipengaruhi dimana aku berada. Setiap harinya aku melihat wajah sendu para lansia, derap langkah yang sangat perlahan daan penuh dengan kehati-hatian, serta aktivitas yang sangat amat minim.

Terkesan memang sangat membosankan. Namun disini aku menemukan keheningan di tengah pikuknya keramaian kota. Bagiku, panti jompo bisa menjadi tempat untuk sedikit memperlambat laju pikiranku dan mempertajam lagi “kesadaranku”. Dengan merasa waktu menjadi lambat, aku mulai bisa belajar bagaimana rasanya menikmati langkah kakiku. Kesadaran dimana aku berada, sedang apa aku, dan siapakah aku, mulai terungkap ketika  menikmati lambatnya waktu di panti jompo itu.

Aku menyadari bahwa waktu adalah persoalan persepsi. Seringkali aku merasa dikejar oleh waktu, padahal kenyataannya waktu tak pernah mengejarku. Rasa dikejar sesuatu timbul dari berisiknya pikiranku. Tak membuat pekerjaanku terselesaikan, malah sebaliknya makin berantakan.

Ada pepatah bilang,

“Terkadang, kita perlu berhenti sejenak bahkan mundur beberapa langkah untuk mempersiapkan lompatan yang lebih tinggi.” – nn

 

By celotehyori

Diana Mayorita, yang lebih sering dipanggil dengan YORI. Saat ini berprofesi sebagai psikolog klinis yang concern pada issue seks & relationship. Saat ini juga bersama tim sedang mengembangkan sebuah platform digital untuk memudahkan akses layanan psikologi di Indonesia. Selain itu, juga aktif dalam berbagi edukasi psikologi dan seksologi melalui berbagai media.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.