No Widgets found in the Sidebar

Hampir tiga minggu aku dan suster praktek di sebuah rumah sakit. Hiruk pikuk rumah sakit sudah menjadi hal biasa untuk kami, rengekan anak-anak, hilir mudik para koas yang membuntuti seorang dokter, perawat yang selalu sibuk memeriksa pasien dan tak jarang kami juga sering mendengar derit suara gelindingan beberapa pasang roda membawa oksigen maupun membawa alat medis lain.

Hari Selasa itu semua terasa biasa saja. Mengawali hari aku dan suster berpencar untuk menjenguk pasien dampingan masing-masing. Pasienku yang kemarin merintih pusing karena vertigo kini sudah mulai membaik dan sudah banyak bercerita denganku, sedangkan pasien suster seorang ibu lanjut usia yang terserang stroke kini wajahnya sudah bisa tersenyum dan tak semuram kemarin. Hari itu aku merasa semua berjalan biasa saja, sehingga aku memutuskan untuk duduk bersandar di ruang transit perawat sambil membenahi beberapa laporan.

Baru saja 10 menit aku membuka laptop, terdengar salah satu perawat magang berlari sambil berteriak “Oksigen, Mbak!”

Sontak semua perawat langsung berdiri dan bergegas menuju sumber suara. Saat itu aku masih belum terlalu ngeh apa yang sedang terjadi. Aku masih fokus dengan laptopku dan sesekali membuka handphone. Keadaan diluar semakin gaduh dan aku pun merasa ada yang tidak beres.

Aku langsung keluar ruang transit perawat bersama suster untuk mencari tahu kamar nomor berapa yang sedang dalam keadaan “darurat”. Aku melihat beberapa penjenguk pun ikut berdiri melihat ke arah yang sama dan itu adalah kamar nomor 16.

Aku kaget, karena itu adalah kamar seorang wanita muda yang kemarin baru saja aku jenguk. Kemarin ia tampak sangat lesu dan beberapa kali merengek kesakitan. Ia di temani dua orang temannya yang dengan sabar memijat kedua kakinya. Aku pribadi tak tahu apa jelas sakitnya, aku hanya memegang kakinya yang terasa dingin dan basah karena keringat. Aku tak berani mengajaknya ngobrol lebih lama karena melihat kondisinya yang lemah.

Semua pertolongan darurat sudah dilakukan oleh perawat. Namun sayang, nyawanya tidak bisa tertolong. Saking tak percayanya aku mengkroscek dengan beberapa perawat magang yang ikut menangani pasien tersebut sebelum meninggal. Sungguh semua berjalan mendadak dan tak terduga. Wanita muda 18 tahun itu kini sudah terbujur lemas tanpa nafas.

Kejadian yang serba mendadak tersebut membuatku kembali merefleksi diri. Usiaku kini sudah 24 tahun, namun masih banyak hal yang belum aku perbaiki dalam diriku, pencapaian dan pengabdianku pun masih sangat minim. Padahal, berpikir kematian tak selalu buruk, seperti yang mendiang Steve Jobs lakukan untuk bisa terus berkarya dengan pemikiran “If I Die Tomorrow”.

Waktu itu misteri, apalagi nyawa yang bisa diambil kapan saja oleh Tuhan.

Selamat jalan, hey wanita muda. Semoga jalanmu diberi kemudahan di Bulan Penuh Berkah ini.

By celotehyori

Diana Mayorita, yang lebih sering dipanggil dengan YORI. Saat ini berprofesi sebagai psikolog klinis yang concern pada issue seks & relationship. Saat ini juga bersama tim sedang mengembangkan sebuah platform digital untuk memudahkan akses layanan psikologi di Indonesia. Selain itu, juga aktif dalam berbagi edukasi psikologi dan seksologi melalui berbagai media.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.