Aku adalah satu dari sekian banyak orang yang meyakini bahwa pernikahan adalah sesuatu yang sakral. Bukan soal menikah adalah bagian dari ibadah, namun bagiku kesakralan pernikahan adalah tentang membangun komitmen jangka panjang dengan satu orang yang bisa berdampak pada kehidupan selanjutnya. Tentu saja ini sakral, karena tidak bisa dilakukan dengan main-main dan ini bagian dari bertanggung jawab terhadap hidup yang dijalani.
Dari keyakinanku soal pernikahan, tentu saja hal ini berdampak pada pemilihan pasangan. Aku adalah tipe orang yang sangat selektif. Bagiku, wajah dan fisik nomor sekian, kepribadian dan value yang dipegang seorang pria adalah yang utama. Kenapa? Sebab fisik bisa menua dan melemah namun tidak dengan kepribadian dan value personal. Naif? Ya mungkin bagi kebanyakan orang berpikir aku sangat naif, tapi bagiku itu yang paling realistis dalam memilih seorang menjadi pendamping hidup.
Singkat cerita, dari sekian waktu pencarian aku menemukan seseorang yang menurutku cocok menjadi partner hidup. Aku merasa klik dalam banyak hal, mulai dari kepribadiannya, cara pandangnya soal kehidupan dan bisa menjadi partner diskusi yang seimbang. Hanya saja dia seorang difable yang setiap hari menggunakan kursi roda. Saat awal-awal menjalin hubungan, kondisi fisiknya tak terlalu menjadi hal yang aku pusingkan. Toh bagiku, fisik nomor sekian, yang penting nyaman dan nyambung. Namun, seiring hubungan ke arah yang lebih serius, ternyata tak bisa dielakkan bahwa kondisi fisiknya adalah hal utama yang menjadi penghalang kami bisa bersama saat itu. Tumbuh di keluarga yang sangat koservatif dan menjunjung nilai budaya (bobot-bibit-bebet) membuat hubunganku ditentang dan dilarang dengan keras.
Tentu saja dari kondisi seperti ini, aku selalu merasa menghadapi jalan buntu. Pagar terasa semakin tinggi menjulang dan ruangku semakin sempit sehingga membuatku sering sesak nafas. Dulu aku sempat berpikir untuk mencari pengganti, tapi semakin aku berpikir demikian semakin aku membohongi diriku. Bagiku, dia adalah berlian yang berhasil aku temukan dari hasilku menyelam memasuki ruang-ruang hampa diriku. Ya, dia adalah orang yang aku temukan dalam pencarianku menemukan siapa diriku sebenarnya. Aku lelah menjadi orang lain dan aku tak mau kehilangan diriku lagi.
Dengan segala pertentangan yang ada, tentu saja narasi-narasi soal brain wash, perdukunan, pelet, dll sering terdengar di telingaku. Lebih-lebih soal kemungkinan memiliki keturunan yang you know lah ya…
Semakin aku mendengar itu semua, semakin aku yakin bahwa apa yang aku pilih adalah baik. Pertentangan yang tak masuk akal membuatku banyak mengkaji lagi bagaimana orang tuaku memandang dirinya terhadap manusia lain. Dan sayangnya semakin bertentangan dengan apa yang mereka ajarkan bahwa semua manusia di mata Tuhan itu sama.
Tentu saja, aku menghadapi resiko besar jika memang aku akhirnya memilih hidup dengan pria yang aku cintai. Selain pertentangan keluarga, aku juga memiliki konsekuensi dalam menghadapi hidup yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya, ya menjalani hidup dalam jangka waktu panjang dengan seseorang berkursi roda. Bagi orang yang selalu terencana sepertiku, pikiranku tentu saja menjadi rumit berkali-kali lipat ketika membayangkan hidup dengannya.
Singkat cerita, akhirnya kami menikah. KUA adalah tempat kami mengucap janji pernikahan. Aku merasa sangat beruntung, karena pernikahan yang sangat sangat sederhana ini ternyata memberi makna yang mahal harganya bagi kami. Ya, kami menikah tidak untuk menyenangkan banyak pihak, selain itu kami bisa menghemat banyak untuk mempersiapkan kehidupan berumah tangga.
Setelah menikah, apa yang aku khawatirkan dulu ternyata tidak terjadi. Justru hidupku sekarang terasa lebih mudah. Kesamaan visi misi dalam menjalani pernikahanlah yang menjadi pondasi kenapa aku merasa hidup yang aku jalani saat ini lebih membuatku merasa hidup. Kami menjalani peran kami sesuai porsi masing-masing dan menjadi partner tumbuh bersama yang setara. Kendala soal fisik menjadi tak terlalu berarti, karena aku sudah paham soal konsekuensinya. Menikah dengan seorang difable, tak serumit itu kawan.
Saat ini kami sudah memiliki gadis kecil yang mulai banyak berceloteh dan menjelajah dunia sekitarnya. Bertambahnya peran menjadi Bapak dan Mamak tentu saja menjadi tantangan baru bagi kami. Kehadirannya tak hanya memberi warna bagi kehidupan kami, tapi juga membuatku banyak belajar memahami dan menyembuhkan luka inner child yang kadang masih terasa. Kami berdua tentu saja memiliki luka masa kecil masing-masing, namun kami selalu berdialog agar luka kami masing-masing tak ter-transfer dengan menerapkan Mindful Parenting.