Sampai saat ini aku selalu terngiang masa dimana aku selalu menggebu-gebu untuk bisa menjadi seorang penulis. Penulis yang punya karya dalam bentuk buku. Saat itu aku merasa impian itu cukup sulit untuk dicapai, karena keterbatasan soal literasi soal kepenulisan dan membayangkan soal panjangnya proses penulisan hingga akhirnya buku siap terbit. Semuanya seperti terlihat rumit pada saat itu. Dan membuat tak kunjung action, sehingga menjadi penulis hanya sekedar angan-angan.
Sama seperti kebanyakan orang, pandemi menjadi titik balik yang cukup berpengaruh dalam hidupku. Tak hanya soal arah hidup yang melawan arah, namun aku juga mulai merubah caraku mendefinsikan siapa diriku. Aku mau punya cita-cita menjadi penulis, tapi aku tidak pernah menulis kecuali text message. Aku akhirnya sadar, cita-cita itu tak akan pernah tercapai jika aku masih pakai cara yang sama. Kalo mau jadi penulis ya intinya rajin-rajinlah menulis, menulis apapun. Begitu kata mentor menulisku. Dari situlah aku mulai menyederhanakan caraku melihat sebuah proses menulis. Aku fokus pada perubahan perilaku, yaitu menulis apapun setiap hari. Pokoknya menulis, titik. Mulai dari jurnal harian, resume nonton youtube atau setelah baca buku. Semakin sering aku menulis, akhirnya aku mulai berpikir menulis berbagai tulisan untuk satu topik yang sama.
Aku jadi mulai melupakan mimpiku menjadi penulis, karena sejatinya aku merasa sudah menjadi seorang penulis yang setiap hari menulis. Sampai ketika sehari nggak nulis itu rasanya seperti ada yang kurang. Kegiatan menulis yang bikin candu selain merangkai kata adalah kegiatan memencet keyboard, haha. Beneran deh, sampai jari tuh kaya punya mata sendiri dan tau huruf mana yang kita pencet tanpa terus melihatnya.
Setelah proses 6 bulan menulis tanpa henti, akhirnya terkumpulah sekian banyak tulisan yang bertema tentang relasi tidak sehat. Enam proses berikutnya aku mencari sebuah penebit, aku coba-coba kirim naskahku dan empat bulan kemudian lahirlah buku pertama dengan judul Toxic Relationsh*t : Bagaimana Syndrom Gadis Baik Membawamu Dalam Hubungan Yang Tidak Baik.
Percaya nggak percaya, akhirnya kesampaian juga bisa punya karya dalam bentuk buku. Dari pencapaian pertama itu membuatku ingin menulis buku lagi. Aku sadar, pasti tantangannya akan berbeda dengan proses penulisan di buku pertama. Sebab di buku berikutnya pasti sudah dibumbui oleh ekspektasi pribadi yang ada kalanya agak kurang masuk akal. hahaha..
Setelah enam bulan terbitnya buku pertama, mas editor mulai memberikan signal untuk buku berikutnya. Tentu saja aku senang! Aku mulai mengeluarkan list-list topik buku yang pernah aku tuliskan. Mulai dari topik kehidupan pelacur, friends with benefit, hingga tentang relasi pernikahan. Dari beberapa topik yang aku sodorkan, editor meminta ku untuk menulis buku soal relasi pernikahan. Jeng… jeng… jeng…
Bagi aku pribadi, menulis itu nggak hanya sekedar memproduksi kata demi kata menjadi sebuah kalimat hingga paragraf. Menulis itu juga perlu memiliki value atau meaning. Apalagi buku yang aku tulis sifatnya personal development, yang tentunya adalah bagian dari apa yang aku lakukan juga. Di buku pertama, soal Toxic Relationship aku cukup nglotok karena relasi pacaran yang aku jalani cukup lama membuatku banyak belajar soal bagaimana membangun relasi pacaran yang sehat. Sehingga aku bisa berbagi dari apa yang aku alami. Lalu bagaimana dengan relasi pernikahan di buku kedua? Disinilah tantangannya.
Saat proses menulis buku ke dua, usia pernikahanku baru seumur jagung, yaitu 1 tahun. Kalo hanya menulis tips-tips umum soal menjaga relasi pernikahan itu mudah, tapi yang menjadi tantangan adalah memegang prinsip : apa yang aku tuliskan adalah apa yang aku lakukan. Ini tentu saja cukup membuat proses penulisannya memakan proses yang relatif lebih lama.
Awalnya aku menargetkan buku ini bisa kelar dalam satu tahun, tapi Tuhan berkata lain. Proses perlu diperpanjang karena aku perlu melewati fase hamil – melahirkan – menjadi ibu untuk bisa menyelesaikannya. Selain soal berhubungan dengan waktu, ternyata dengan aku melewati 3 fase itu aku menjadi memiliki perspektif yang berbeda dalam menjalani pernikahan. Aku juga merasakan bagaimana strugglenya aku membangun komunikasi dengan pasangan di fase-fase naik turun itu. Aku juga struggling dengan peran baruku sebagai ibu. Bahkan aku hampir kehilangan diriku sendiri karena tenggelam dalam peran sebagai ibu baru.
Sungguh beruntung aku tak menyegerakan menyelesaikan proses menulis sesuai target awal. Sebab pengalaman bertambah peran akan sangat disayangkan jika tak ikut dituliskan.
Voila! Akhirnya buku kedua lahir tepat di bulan Juni, bulan istimewaku. Walau aku merasa buku ini jauh dari sempurna, tapi aku bangga aku bisa menyesaikannya. Bettern done, than perfect. Begitu kata pepatah hahaha.
Setelah buku kedua lahir, aku memang meniatkan untun hiatus dulu menulis buku. Aku ingin kembali menulis blog seperti dulu dengan keliaran-keliaran pikiranku. Walau menulis buku itu juga bikin candu, tapi aku bukanlah seorang yang berprofesi sebagai penulis. Menulis buku adalah sebuah pencapaian yang akhirnya aku bisa lampaui. Yes!
Saat aku melihat buku keduaku, doaku adalah semoga buku ini bertemu dengan jodohnya, pembaca yang rindu dan ingin membangun kembali keintiman dalam relasinya.