Seringkali secara otomatis kita akan terus membandingkan diri kita dengan orang lain. Entah itu membandingkan dari sisi buruk atau sebaliknya membandingkan dari sisi baiknya. Sayangnya, semakin sering kita membandingkan dengan orang lain semakin terpuruklah kita. Awalnya aku nggak percaya dengan statement itu, hingga aku merasakannya sendiri dan melihat contoh langsung yang aku temui di RS Jiwa.
Aku akan menceritakan salah satu klien yang aku dampingi saat aku praktek magang di RSJ, semua identitas akan aku samarkan yaa demi keamanan 🙂
Sebut saja namanya Lulu, wanita berusia 34 tahun yang belum menikah dan sudah tiga kali rawat inap di RSJ. Pertemuanku dengannya sebenernya setelah aku menjalani hampir setengah periode magang. Saat aku pertama kali bertemu perawakannya lusuh, kusut, dan berantakan seperti orang yang tidur terlalu lama. Walau hari itu kami baru pertama kali bertemu, tapi Lulu sudah banyak bertanya tentang apa yang aku lakukan. Beberapa kali tanpa aku tanya ia selalu bercerita bahwa ia adalah seorang yang cerdas, punya tingkat pendidikan setaraf S2 dan baru saja menyelesaikan S3. Kala itu aku hanya mengangguk mengiyakan apa yang dikatakannya. Segera aku mulai melihat rekam medisnya untuk aku pertimbangkan sebagai calon klien yang akan aku dampingi. Wolaa… ternyata dia memenuhi kriteria dan segera aku catat dalam buku note ku.
Keesokan harinya aku mulai mewawancarainya. Perkataanya memang ngalor ngidul, tapi inti omongannya adalah ia orang yang hebat, pintar, berpengalaman namun memiliki sifat manja dan selalu ingin dilayani. Lulu juga mengungkapkan bahwa ia ingin sekali punya mobil mewah dan rumah berlantai tiga dengan cara mejual rumah satu-satunya yang dimiliki ibunya.
Sehari dua hari berselang, aku memutuskan untuk janjian bertemu dengan kakak laki-lakinya. Â Tujuannya satu, yaitu untuk mengkonfirmasi apa yang sudah Lulu ceritakan padaku. Ternyata tak semua yang Lulu ceritakan padaku itu salah dan beruntungnya Kakaknya menceritakan semua kronologis riwayat Lulu padaku.
Jadi sebenernya, Lulu adalah anak yang sangat di manja oleh orang tuanya. Semua yang Lulu inginkan selalu diusahakan mati-matian oleh orangtuanya. Dari lima bersaudara, hanya Lulu seorang lah yang tamatan S1 sedangkan saudara lainnya hanya tamatan SMA. Kebiasaan selalu dilayani oleh orang tua membuat Lulu menjadi sulit untuk mandiri, namun kontrasnya Lulu selalu menuntut agar semua keluarganya menuruti perkataanya, yap karena dia merasa dialah yang paling pintar karena berpendidikan lebih tinggi.
Dalam prosesnya Lulu berubah menjadi pribadi yang senang menuntut dan sulit menerima keadaan yang tidak sesuai dengan keinginanya. Yang ada dalam benaknya adalah ia harus melebihi orang lain, entah bagaimanapun caranya. Sebenernya suatu keadaan yang sangat kontras, disatu sisi ia sangat ingin lebih dari orang lain namun disisi yang lain ia sangat tergantung pada orang lain.
Dalam situasi yang sudah jauh lebih baik dari perama kali aku bertemu dengannya, aku iseng-iseng bertanya padanya mengapa ia sangat ingin memiliki mobil padahal dia tak bisa menyetir dan keadaan orangtuanya sangat pas-pasan. Tanpa ragu Lulu menjawab,
“Ya aku harus punya mobil, temen-temenku di kampus pada punya mobil masa aku nggak punya mobil.”
Bisa di tebak, hingga saat ini Lulu belum memiliki mobil, namun ia sudah memiliki satu motor matic yang selalu bertengger di kamarnya dan tak pernah digunakan. Alasannya satu, ia ingin motornya selalu terlihat mulus agar beberapa tahun lagi nilai jualnya bisa lebih tinggi dari harga beli.
Sebenernya, hampir semua tuntutannya adalah hasil dari dirinya membandingkan dirinya dengan orang lain. Tuntutan yang terlampau tinggi serta tidak realistis dengan kemampuannya membuat pikirannya terpecah dan kacau. Hingga saat ini Lulu tak pernah tau apa yang sebenernya ia butuhkan, yang ia tahu hanya menuntut keadaan.
Dari sekelumit cerita Lulu diatas aku bisa mengambil banyak pelajaran bahwa selalu  membandingkan diri dengan orang lain tak akan bisa memperbaiki keadaan. Yang ada hanya menumpuk ambisi sedikit demi sedikit dalam diri yang malah dampaknya merusak keadaan. Ada yang bilang, ketika kita tidak membandingkan diri dengan orang lain kita hanya akan menjadi manusia dibawah rata-rata dan tak akan bisa berkembang. Padahal, manusia diatas rata-rata adalah manusia yang selalu mensyukuri apa yang dia dapatkan, membandingkan dirinya bukan dengan orang lain namun dengan dirinya sendiri, serta selalu mengukur kemampuan apa yang dimiliki.
Jadi, mau sampe kapan kamu akan terus membandingkan dirimu dengan orang lain?
Inget, diatas langit ada langit …
Cheers!