Tahun ini dan tahun 2019 mendatang merupakan tahun-tahun politik. Seperti yang sudah-sudah, saat pilkada maupaun pilpres setiap sudut kota akan dikotori dengan bendera-bendera partai maupun baliho-baliho besar yang berisi foto dan janji -janji manis para politikus. Dan banyaknya atribut kampanye tersebut akan merusak pemandangan kota. Ternyata tak sampai disitu. Di sebagian besar siaran televisi juga akan memutarkan mars-mars partai, orasi singkat dari politikus, dan informasi-informasi tidak netral yang fungsinya sebagai pengalihan isu.
Nah berbicara soal kampanye politik, ada salah satu isu yang hampir setiap pemilihan sering dijadikan sebagai senjata. Salah satu senjata yang sering dipakai untuk menarik simpati para pemilih ialah tentang isu penutupan lokalisasi.
Masih ingat dengan penutupan lokalisasi Dolly Surabaya dan Kalijodo di Jakarta?
Bila diingat-ingat, kedua kasus penutupan lokalisasi tersebut menuai pro dan kontra. Banyak pihak yang menyayangkan penutupan lokalisasi tersebut, selain matinya sumber mata pencaharian sebagian besar orang di dalamnya, juga ditakutkan tentang penyebaran HIV/AIDS yang semakin meluas. Namun disisi lain, adanya lokalisasi di suatu daerah hanya akan membuat citra daerah tersebut menjadi buruk dan tentunya ditakutkan dapat merusak moral masyarakatnya. Bahkan kala itu aku sempat mendengar bahwa Risma mendapatkan ancaman akan dibunuh bila Gang Dolly benar-benar di tutup.
Kini Gang Dolly dan Kalijodo sudah resmi ditutup. Gang Dolly yang dulu ramai dengan lalu lalang wanita seksi kini sudah berubah menjadi pusat pemberdayaan masyatarakat. Begitupula dengan Kalijodo sekarang menjadi pusat kegiatan anak-anak muda untuk berkarya dan berolah raga. Keadaan tersebut berubah 180 derajat.
Di lain sisi kita tak bisa menutup mata bahwa dibalik penutupan lokalisasi terdapat risikonya tersendiri. Bukan soal berhentinya roda ekonomi di sekitar lokalisasi, namun lebih dari itu yaitu penyebaran penyakit. Tentunya tak semua pelacur mau diberdayakan untuk alih profesi, mereka yang enggan diberdayakan berpindah ke daerah lain untuk melanjutkan pekerjaannya sebagai pekerja seks.
Sebelum lokalisasi di tutup, para petugas kesehatan dapat dengan mudah menjangkau mereka dan tentunya dapat mendata berapa jumlah jumlah wanita pekerja seksnya, berapa yang sedang terkena penyakit IMS dan berapa yang sudah positif HIV/AIDS. Tapi kini saat mereka berpindah dan bisa jadi berpindah ke daerah pedalaman yang tak memiliki akses kesehatan. Bisa dibayangkan, saat mereka melayani berbagai macam orang pastinya penyakit akan lebih mudah tersebar. Bila sudah demikian maka akan lebih banyak orang yang tertular, tak hanya para pembeli seks tapi juga para ibu rumah tangga yang tidak tahu menahu soal perilaku suaminya yang sudah jajan sembarangan. Secara penanganan kesehatan serta tindakan preventif penyebaran penyakit juga akan menjadi lebih sulit karena harus di mulai lagi dari nol.
Efek seperti inilah yang masih belum dijadikan pertimbangan oleh para pemegang keputusan. Yang penting tutup! Bagaimanapun caranya. Tapi apakah ya penutupan lokalisasi menjadi satu-satunya cara untuk mengurangi penyakit masyarakat? Atau justru akan semakin memperparah keadaan.
Ya selama ini memang banyak lokalisasi atau prostitusi berada sangat dekat dengan pemukiman warga. Salah satunya seperti Lokalisasi Sunan Kuning yang ada di Semarang. Tempatnya memang dipinggir kota Semarang, namun masih berada di perkampungan. Di dalam lokalisasi tersebut masih banyak masyarakat lokal yang memang bukan berprofesi sebagai pekerja seks. Bisa jadi, inilah yang dianggap pemerintah dapat berpengaruh buruk untuk masyarakat, perkembangan anak yang tinggal di sekitar lokalisasi dan sebagainya.
difoto dari buku: Sex For Sale
Saya pribadi sebenarnya kurang setuju dengan ide untuk penutupan lokalisasi. Karena penutupan lokalisasi tanpa ada rencana yang jelas terkait tindakan preventif soal kesehatan dan penyebaran penyakit setelah penutupan sama saja seperti menggali lubang baru dengan menutup lubang yang lama. Saya lebih setuju dengan pemindahan lokalisasi ke tempat yang jauh dari lingkungan masyarakat dan penataan kembali sistem yang ada di dalamnya. Sempat saya mendiskusikan hal tersebut dengan Teh mariska lubis yang telah berkeliling ke lokalisasi se Indonesia. Bahwa penutupan lokalisasi hanya akan membuat permasalahan baru.
Mengapa selama ini pemerintah tidak pernah berpikir untuk menghukum para pembeli seks?
Selama ini yang disalahkan hanya wanita pekerja seksnya saja.
Padahal mereka ada karena tingginya permintaan.
Ya hukum suplay dan demand berlaku.
Peran serta pemerintah yang masih belum jelas jluntrungannya dalam penataan sistem lokalisasi juga membuat semakin banyaknya jumlah wanita pekerja seks. Padahal bila sistem lokalisasi benar-benar ditata dan benar-benar terdapat program pengentasan serta pemberdayaan dan diikuti dengan penghukuman para pembeli seks bisa jadi jumlah pekerja seks akan berangsur-angsur menurun. Tanpa perlu ditutup mereka akan beralih profesi ke pekerjaan yang lebih bermartabat dan tentunya lebih berdampak positif. Ya untuk apa jualan bila tidak ada lagi yang membeli?
Semoga isu penutupan lokalisasi tak lagi menjadi bahan kampanye yang menyesatkan.
Padahal banyak juga lo para pembeli seks itu yang berasal dari berbagai kader partai dan aparat.
Lucu aja gitu..