Jujur aja, awalnya aku hanya coba-coba ketika memilih jurusan psikologi untuk kuliah. Dulu aku inget banget, gimana ortu menyuruhku untuk kuliah di fakultas kedokteran bila aku gagal masuk sebuah akademi militer. Entahlah kenapa hingga saat ini kebanyakan orangtua berfikir kalo anaknya menjadi dokter akan membahagiakan mereka dunia dan akhirat haha. Padahal, belum tentu. Ya emang bener sih kebanyakan dokter di Indonesia itu orang yang kaya raya dan punya posisi terhormat di masyarakat, tapi seorang anak yang masuk fakultas kedokteran karena ambisi orangtua hanya akan menjadi bencana di kemudian hari.
Oh ya, demi bisa masuk fakultas kedokteran, aku sampe tiga kali ikut tes masuk di universitas swasta, dan semuanya gagal haha. Gak sampe disitu, ortu juga meyuruhku ikut tes masuk universitas negeri dan gagal karena mamah hanya menulis Rp. 0-, di kolom iuran pembangunan dan karna akunya juga gak niat ngerjain tes hahaha. Sebenernya bolak balik ikut tes kedokteran itu hanya formalitas bagiku, yang penting toh sudah mengikuti permintaan orangtua. Padahal sebenernya dari aku pribadi gak punya keinginan sama sekali menjadi dokter. Selain itu, aku juga sudah punya cadangan di fakultas psikologi yang masuk tanpa jalur tes.
Ketika mengisi form pendaftaran universitas swasta, aku hanya berpikir bahwa psikologi itu cukup menarik untuk pilihan pertama, sedangkan pilihan kedua adalah teknologi informasi. Kenapa milih psikologi untuk pilihan satu, soalnya dari SD aku sudah suka membaca buku-buku yang berhubungan dengan psikologi, salah satunya seperti buku chicken shoup for children. Sedangkan teknologi informasi di pilihan kedua karena si gebetan waktu itu kuliah di IT haha.
Awalnya emang buta banget setelah lulus mau kerja dimana. Pada zamanku dulu beberapa orang masih belum familiar dengan psikologi. Yang tau lulusan psikologi Cuma bisa jadi tuka tes orang masuk kerja aja. Sungguh pikiran yang sempit. Dari anggapan kaya gitu aku mulai mencari tau sebenernya dunia psikologi itu seluas apa dan sebermanfaat apa untuk orang lain.
Selama kuliah S1, aku memang terkenal dengan mahasiswi kupu-kupu (kuliah-pulang) dan tak aktif di organisasi. Yang ada dikiranku kala itu ikut organisasi kampus itu ribet, apalagi kalo udah liat temen-temen yang kerjaanya rapat mulu hahaha. Ya sorry-sorry kata ya, menurutku itu wasting time. Jadi gak heran kalo di kampus aku haya punya beberapa temen dan tidak terlalu dikenal banyak dosen. It’s no problemo 😀
Nah karena aku gak aktif di kampus, jadinya aku mencari hal-hal yang bisa aku pelajari di luar kampus. Seperti di sementer-semester awal aku pernah gabung komunitas peduli anak jalanan sebagai pengajar, terus di liburan panjang semester aku memberanikan diri untuk magang di sebuah sekolah pendidikan anak berkebutuhan khusus, kerja jadi freelancer sebagai tester di biro psikologi, kerja di sebuah “lembaga pengembangan diri”, selain itu aku juga sudah aktif ikut-ikut seminar pengembangan diri. Semua itu aku lakukan selama aku kuliah.
Sebenernya, diakhir-akhir masa kuliah aku sudah mulai minat dalam hal seksologi dan psikologi kesehatan, namun karena belum dapet kesempatan belajar lebih di bidang itu jadi aku mencari bidang lain dulu yang bisa aku masuki.
Dari beberapa kali menjadi loncat sana lonsat sini, aku mulai bisa mengerti tentang dunia psikologi secara lapangan dan punya wawasan relatif lebih luas dibanding temen-temen yang lain. Dari pengalaman itu juga aku mulai tahu dibidang psikologi apa yang aku senangi, karena bidang psikologi itu banyak ada psikologi organisasi, psikologi klinis, psikologi perkembangan, psikologi pendidikan, dll. Hingga akhirnya aku memilih untuk menekuni bidang psikologi klinis dewasa, karena aku merasa dunia klinis itu sangat dinamis dan penuh dengan misteri, hahaha.
Jadi sekarang aku bangga bila disebut sebagai mahasiswi kupu-kupu. Bukan soal siklus kuliah-pulang yang aku lakukan, tapi filosofi kupu-kupu yang melekat dalam diriku. Siklus hidup kupu-kupu yang mengalami “suatu proses panjang” untuk menjadi suatu bentuk yang indah.