No Widgets found in the Sidebar
kakek Hardtop

Apa yang membuat suatu barang itu bernilai? Apakah dari bahan bakunya yang mahal dan berkualitas? Tampilannya yang mengkilap? Karena siapa pembuatnya? Atau ada yang lain?

Pada tulisan kali ini izinkan aku bercerita tentang sebuah mobil tua yang cukup memiliki hubungan emosi dengan aku, keluargaku dan seseorang yang kini menjadi pemilik baru atas mobil tersebut. Ya hari ini, tepatnya siang tadi pukul 13.00 wib mobil yang sudah lama tertidur di garasi rumahku hampir sepuluh tahun akhirnya menghirup udara bebas dan berpindah ke suatu tempat yang akan menjadi tempat berteduhnya nanti.

Tulisan ini bercerita tentang si Kakek Hardtop.

Boleh percaya atau tidak, setiap kendaraan yang keluargaku gunakan selalu aku beri gender dan nama panggilan. Misalnya mobil yang sering aku gunakan sehari-hari aku beri nama Tery, ia aku ibaratkan sosok perempuan yang tangguh yang tidak takut jalan terjal, yang dia takutkan ialah hanya jalanan berlumpur karena kakinya memang tidak didesain untuk jalanan berlumpur. Demikian juga dengan mobil tua Hartop yang usianya lebih tua dari aku, saking tuanya maka aku memanggilnya Kakek Hardtop (walau sebenarnya nama tipe mobilnya bukan Hartop, hehe), ia aku gambarkan sebagai sosok kakek yang berwibawa  dan mengajarkan banyak nilai-nilai kehidupan.

Orangtuaku, khususnya Ayahku mengajarkan bahwa setiap kendaraan itu “bernyawa”, oleh karena itu perlu diperlakukan dengan baik dan bahkan sesekali juga perlu diajak bicara. Aku dan mungkin kakakku beberapa kali diwanti-wanti untuk tidak menendang ban atau mengencingi ban. Karena ban itu ibaratnya kaki, mana ada sih yang mau berjalan dengan baik kalo kaki ditendang-tendang atau bahkan dikencingi?

Kembali lagi ke kisah Kakek Hardtop. Sudah tiga tahun terakhir kami memutuskan untuk menjual mobil ini. Bukan karena apa-apa, tapi kami kasihan karena tidak ada yang merawatnya dengan baik. Aku tak mengerti seluk beluk mobil tua. Jadi begitu sudah tidak bisa di starter aku pasrah. Dan kira-kira sudah hampir 6 bulan accu-nya dicopot, sehingga tak tercium lagi bau asap knalpotnya yang sarat dengan bau bensin.

Orangtuaku mempercayakan padaku. Terserah mau ditawarkan ke siapa, asal harganya cocok dan bersedia menerima kondisi mobil tersebut apa adanya. Beberapa kali aku mencoba seperti menawarkannya ke situs jual beli online, ke tetangga yang hobi offroad, dan juga beberapa kawan yang hobi nongkrong di bengkel, dan banyak lagi. Tapi ya hasilnya nihil. Ada yang pernah sampai menelepon, tapi itu hanya sekedar tanya-tanya saja. Aku juga sebenarnya bingung, karena tidak punya link ke komunitas pecinta mobil-mobil tua.

Hingga tepat sebulan yang lalu, aku berbicara intim dengan Kakek Hardtop. Sambil ku tatap dua lampu depannya aku berkata, “Segera cari penggantimu ya, yang bisa merawatmu dan menyayangimu sepenuh hati. Aku yakin pasti ada orang yang datang untukmu”.

Semenjak itu aku mengikhlaskannya. Aku tak terlalu berharap orang itu segera datang. Karena aku yakin seseorang itu, entah siapa dan dari mana akan datang.

kakek hardtop

Dan ternyata benar, kurang lebih hari Sabtu kemarin ada seorang kawan lama ayahku datang untuk berkunjung ke rumah. Beliau dulu pernah menjadi bawahan ayahku di suatu daerah dan sampai saat ini masih memiliki hubungan yang baik. Hingga di pertengahan obrolan siang itu ayahku menawarkan mobil tua kami pada beliau. Sebenarnya tidak secara langsung pada beliau, tapi ayahku berpikir bahwa beliau punya banyak kawan yang menyukai mobil tua jenis Hardtop. Tanpa disangka, beliau langsung yang ingin membeli mobil itu dan merawatnya.

Ternyata keputusan itu bukan tanpa alasan. Beliau, kawan lama ayahku itu bercerita bahwa memiliki hubungan emosional yang cukup kuat dengan mobil tua itu. Ia bercerita bahwa mobil itulah yang membantunya menjalankan tugas saat itu. Yah, ibaratnya mobil itu mobil perjuangan saat ia bertugas dulu.

Mendengar kisahnya yang panjang antara beliau dengan Kakek Hardtop aku merasa trenyuh sekali. Dan juga membuatku teringat betapa dulu si Kakek setia antar jemput aku sekolah sewaktu SD dulu, dan kakek juga berjasa mengantar Ayah dan Kakakku dari Magelang – Semarang saat mendapat kabar pasar di belakang rumahku terbakar.

Ternyata yang membuat sesuatu sangat berharga ialah ada cerita dibaliknya. Ada kenangan, memori dan kisah-kisah yang mungkin tidak semua orang alami dan rasakan. Dan aku percaya, walau mereka benda mati namun mereka menyimpan memori yang tak lekang oleh waktu.

Dan pagi ini saat diperjalanan aku juga mendapatkan insight, ternyata ini toh pentingnya belajar story telling? Haha…

Selfie Sebelum berpisah
Selfie Sebelum berpisah

Selamat jalan Kakek Hardtop…

By celotehyori

Diana Mayorita, yang lebih sering dipanggil dengan YORI. Saat ini berprofesi sebagai psikolog klinis yang concern pada issue seks & relationship. Saat ini juga bersama tim sedang mengembangkan sebuah platform digital untuk memudahkan akses layanan psikologi di Indonesia. Selain itu, juga aktif dalam berbagi edukasi psikologi dan seksologi melalui berbagai media.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.