“Pertama lihat trailernya nggak nyangka kalo ada love scene yang aaahh….
So emotional!”
Nonton film menjadi salah satu aktivitas yang tidak pernah terlewatkan dalam setiap minggunya. Nonton film itu nggak soal bagiamana menikmati film dari sisi visual saja, tapi lebih dari itu. Banyak hal yang aku dapatkan hanya dari menonton film.
Nah, pada postingan kali ini aku ingin membagikan insight yang aku dapatkan dari film pemenang Oscar tahun ini. Yap! The Shape of Water garapan Guillermo del Toro. Film ini keren banget sumpaaah!!!
Walau ada yang berpendapat bahwa jalan cerita ini seperti kisah cinta beauty and beast biasa, namun menurutku ini berbeda. Karena aku bukan movie maniac ya.. jadi aku ingin merievew dari sisi yang aku dapatkan, khususnya soal relationshipnya.
Bukan Yori namanya, kalo nggak membahas dari sisi sexuality hahaha…
Jujur saja pertama lihat trailler film ini aku nggak expect kalo ada sex scenennya. Yang membuat aku tertarik menonton film ini ialah karena peran utamanya ialah seorang bisu. It’s quite interesting for me. Namun setelah nonton filmnya ternyata yang aku dapatkan sungguh di luar dugaanku.
Singkatnya, wanita bisu yang bekerja sebagai petugas kebersihan di sebuah laboratorium AS yang bernama Elisa Esposito ini jatuh cinta dengan makhluk ikan setengah manusia atau Amphibian Man. Yang membuatku takjub ialah, komunikasi mereka tak menggunakan verbal, tapi menggunakan non verbal yang kental dengan sisi emosi. Nah loh haha..
Ya karena si Elisa bisu dan Amphibian Man nggak bisa bicara bahasa manusia, sehingga mereka bicara dengan menggunakan bahasa isyarat, musik, gerakan dan tatapan mata. Walau tanpa suara, namun satu sama lain seperti bisa dengan cepat saling memahami. Itulah yang membuat Elisa menjadi cepat jatuh cinta pada makhluk yang ingin segera dimusnahkan tersebut. Elisa merasa bahwa dia yang mengerti siapa Elisa sebenarnya. Ya gimana enggak, hanya sedikit orang yang bisa memahami apa yang dikatakan oleh Elisa dengan gerakan tangannya.
Selain sisi komunikasi non verbal yang sangat ditonjolkan, ada juga love dan seks scene yang dimunculkan pada film ini. Sengaja aku membedakan antara love dan seks. Love scene di film ini ialah saat Elisa dan Amphibian Man “menyatu”. Walau tidak diperlihatkan secara eksplisit, namun emosi yang muncul dalam penyatuan mereka menunjukan bahwa it is the real making love. Ya! Penyatuan mereka beyond the genital intercouse, tapi juga sampai dengan penyatuan jiwa.
Sedangkan di sisi lain, ada seks scene yang ditampilkan oleh Strickland (Si Kepala Laborat yang sadis) dengan istrinya di rumah. Hubungan seks yang ditampilkan seperti film-film bokep yang beredar. Just oh yes! Fucked me! Ooohhh…!!! tanpa mempedulikan sisi emosional.
“Thats way, the important part from this film is showing what is the different making love and having seks.”
Ya.. banyak sekali orang yang mengartikan seks itu seperti film-film bokep. Itulah salah satu yang menyebabkan “nyawa berhubungan seks” menjadi hilang. Seks hanya dipandang menjadi aktivitas kotor semata bukan bagian dari aktivitas spiritual..
Bagiku film ini sangat recomended.
Tak salah bila mendapatkan penghargaan film tertinggi tahun ini. Selamat!