*Rangkuman Buku Cinta, Seksualitas dan Matriaki*
Kajian Komprehensif tentang Gender
Penulis : Erich Fromm
Penerjemah: Pipiet Maizier
Penerbit : Jalasutra, Yogyakarta
Cetakan : I, April 2007
Halaman : xx + 284 hlm
ISBN : 979-3684-75-5
Struktur sosial matriakal dan patriakal sangat menentukan relasi dua jenis kelamin. Meski demikian, struktur tersebut bukan satu-satunya faktor yang menentukan. Esay Erich Fromm di tahun 1943 menunjukkan bahwa perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan mengarah pada perbedaan peran laki-laki dan perempuan dalam hubungan seksual, juga perbedaan karakterologis yang dihasilkan secara langsung oleh faktor sosial. Di Dalamnya Fromm tidak lagi berusaha menyimpulkan perbedaan karakterologis antara laki-laki dan perempuan dari faktor-faktor biologis, tetapi dari pemahaman yang keliru bahwa ” kesulitan dalam hubungan laki-laki dan perempuan pada dasarnya disebabkan perbedaan jenis kelamin”.
Karakter sosial yang dominan dari waktu kita saat ini, ditegaskan oleh kenyataan bahwa masyarakat tidak lagi melihat kodrat individu dan esensi spesifik dari jenis kelamin, berupa “pemenuhan kepuasan”. Tapi diatur oleh pasar, kesuksesan, pengharapan orang lain, peran yang ditentukan untuk mereka. Fromm yakin perbedaan antara dua jenis kelamin ini terbentuk oleh struktur sosial matriakal dan patriakal, hal ini memiliki konseskuensi yang sangat luas, seperti halnya pandangan kita tentang seksualitas dalam konteks perbedaan jenis kelamin.
Formm menjelaskan korelasi ini dalam batasan yang benar-benar bertentangan: ” Dalam pandangan saya, tingkah laku seksual bukan merupakan sebab, tetapi akibat dari struktur sosial seseorang”. Bukan ranjang yang menentukan keberhasilan atau kegagalan sebuah relasi, tetapi kodrat relasi dan orientasi karakterologislah yang menentukan tingkah laku seksual.
Fromm menunjukan bahwa konsep Freud tentang homoseksual tidak dapat dibuktikan dalam praktik psikoterapi. Menurut Fromm, homoseksualitas bukan sebuah entitas klinis yang terpisah, melainkan sebuah gejala yang mengiringi beragamnya masalah karakterologis dan cenderung menghilang ketika masalah karakter umum terpecahkan. Bukan jenis kelamin yang membentuk tingkah laku, tetapi orientasi karakterologislah yang membentuk tingkah laku seksual. Konsekuensinya, terdapat banyak variasi tingkahlaku homoseksual sebanyak variasi heteroseksual.
Lebih jauh, masalah relasi antara laki dan perempuan yang menyertai perbedaan jenis kelamin berdampak digunakan sebagai alat pemuas nafsu, seperti dalam dominasi dan kepatuhan, cinta dan benci.
Penemuan Bachofen Atas Hak Ibu
Karya terbesar Bachofen adalah penemuannya atas Hak Ibu dari hasil analisis terhadap simbol-simbol dan mitos-mitos bangsa Romawi, Mesir, Yunani kuno yang berkesimpulan bahwa struktur patriakal dalam masyarakat yang kita kenal sekarang ini ialah relatif baru. Menurut Bachofen, untuk evolusi yang sama, justru berpusat di sekitar peran ibu, baru kemudian peran ayah. Melalui analisisnya tentang kasih ibu dan ayah, Bachofen telah meletakkan meletakkan fondasi ilmu psikologi tentang perkembangan individual dan perkembangan psikis sosial.
Apa fungsi dari kodrat keibuaan? Di masa mudanya, perempuan lebih dulu belajar menebarkan cinta dan kasih sayang terhadap mahkluk lain ketimbang laki-laki dan melampaui batas-batas ego dan menggunakan kelebihan yang dimilikinya untuk melindungi dan memperbaiki eksistensi orang lain. Cinta, perhatian dan tanggung jawab terhadap sesama merupakan dunia ibu. Kasih ibu adalah benih yang tumbuh dari setiap cinta dan altruisme. Ide tentang keibuan menumbuhkan pengertian tentang persaudaraan di kalangan laki-laki yang mati kerena perkembangan paternitas. Konsekuensi selanjutnya dari budaya yang terpusat pada ibu adalah prinsip-prinsip tentang kemerdekaan, keseteraan, kebahagiaan dan pengakuan kehidupan tanpa syarat. Sebaliknya, prinsip kebapaan berbicara tentang hukum, aturan, kebenaran dan hierarki. Ayah memiliki anak laki-laki kesayangan yang mirip dengannya, sehingga menjadi yang paling pantas menjadi pewaris, pengganti kekayaan dan kedudukan duniawinya. Oleh sebab itulah kesetaraan berubah menjadi hierarki, harmoni menjadi perselisihan.
Aspek positif dari matriaki berada dalam pengertian tentang kesetaraan, universalitas dan pengakuan kehidupan tanpa syarat. Aspek negatifnya berada dalam ikatan akan darah dan tanah, kurang dalam rasionalitas dan kemajuan. Aspek positif patriarki berada pada prinsip tentang kebenaran, hukum, ilmu pengetahuan, peradaban, perkembangan spiritual, sedangkan aspek negatifnya berada dalam hierarki, penindasan, ketidaksetaraan, inhumanitas.
Baik bagi Bachofen dan Freud, perkembangan manusia dimulai dengan ikatannya dengan ibu yang kemudian diceraikan, digantikan ikatan dengan ayah sebaai figur sentral dari cinta kasih. Bagi Freud, ikatan yang sebenarnya adalah ikatan seksual. Melalui asumsi ini, Freud telah mengaburkan kenyataan yang diungkapkan oleh Bachofen bahwa terutama bagi anak kecil, ikatan dengan ibu adalah ikatan emosional yang paling mendalam. Ibu baginya adalah kehidupan, kehangatan, makanan, kebahagiaan, keamanan. Ia adalah cinta yang tak bersyarat, pengalaman dari menjadi dicintai bukan karena patuh, baik, berguna tetapi karena anak ibu.
Sementara Freud dari pendirian patriakalnya yang ekstrem, memandang perempuan sebagai seorang laki-laki yang tidak sempurna. Bachofen pribadi memandang seorang ibu sebagai representasi kekuatan primer dari alam, dari realitas, dan juga cinta dan pengakuan kehidupan. Freud sering kali membatasi makna pada sisi seksualitas atau terhadap hubungan seksualitas dan sering kali hubungan yang remeh temeh pun dilihat dan dikarenakan oleh asosiasi bebas.
Kita akan menemukan bahwa pribadi yang terpusat pada ibu menderita penyakit mental yang berbeda dari pribadi yang terpusat pada ayah.
HAK IBU DAN RELEVANSINYA DALAM PSIKOLOGI SOSIAL
Pokok masalah sentral dari teori-teori paling awal ini terangkum dalam ungkapan “Jiwa tidak memiliki jenis kelamin”. Laki-laki dan perempuan tidak merepresentasikan kualitas-kualitas yang berbeda dalam hal intelektualitas dan psikis. Perbedaan psikis antara laki-laki dan perempuan dapat dijelaskan dengan sangat mudah dan hanya dalam pendidikan yang berbeda. Seksualitas menawarkan salah satu dari kesempatan yang paling elementer dan kuat terhadap kepuasan dan kebahagiaan.
dan yang paling dekat dengan hal ini ialah fungsi sosial lainnya dari pembatasan kepuasan seksual. Seandainya kenikmatan seksual seperti itu dideklarasikan sebagai sesuatu yang penuh dengan dosa, sedangkan hasrat seksual secara abadi tetap berlaku dalam setiap manusia, maka larangan-larangan moral selalu menjadi sumber rasa bersalah yang sering kali bercokol di bawah sadar atau ditransfer dalam bentuk yang berbeda.
Perkembangan dari “karakter genital” dikondisikan oleh kehadiran pengekangan seksual yang merintangi perkembangan optimal manusia. Penekanan (supresi) seksualitas genital mengarah pada perkembangan atau intensitas kecenderungan insting, seperti anal, sadistik, dan homoseksual laten sebagai penegasan penting untuk basis instingtual dari masyarakat masa kini.
Fungsi sosial anak laki-laki ini memainkan peran yang jelas dalam kualitas cinta sang ayah: dia mencintai anak laki-laki dengan syarat apabila anak laki-laki tersebut memenuhi harapan-harapan yang berpusat pada dirinya sendiri.
Sebaliknya, cinta ibu terhadap anak secara tipikal merupakan sebuah karakter yang sepenuhnya berbeda. Hal ini terutama adanya fakta bahwa cinta ibu benar-benar tidak berpamrih. Citra ibu didistosi oleh sentimental dan kelemahan. Perubahan dalam citra ibu merepresentasikan distorsi kondisi sosial tentang hubungan ibu-anak. konsekuensi lebih jauh dari distorsi ini dan juga sebuah ekspresi dari Oedipus Complex adalah sikap yang di dalamnya hasrat untuk mencintai oleh hasrat untuk melindungi dan memujanya.
HAK IBU
Naluri untuk memerhatikan anaknya yang tidak berdaya adalah bentuk dari tanggung jawab akan perkembangan cinta maternal yang meluas tidak hanya kepada anaknya sendiri, tetapi juga dalam bentuk perasaan sosial dan altruisme. Dalam cinta maternal, kita menemukan sumber secara umum. Ia tidak identik, dengan cinta seksual yang lebih direlasikan dengan naluri egoistik rasa lapar. Seksualitas lebih diidentikan dengan kekerasan, ketimbang dengan rasa cinta. Namun ketika berkombinasi dengan cinta, ia menjadi produk beradab dari evolusi kebudayaan. Dalam masyarakat primitif, seksualitas jarang sekali diasosiasikan dengan cinta, di mana sebuah aseksual dari kelembutan maternal sangat sering ditemukan bahkan di antara orang-orang dewasa.
—-
ketika prinsip-prinsip patriakal dan matriakal membentuk sebuah sintesis, bagaimanapun masing-masing dari kedua prinsip ini diwarnai oleh yang lain: cinta ibu oleh keadilan dan rasionalitas, cinta bapak oleh pengampunan dan kesetaraan.
Perbedaan Kelamin dan Karakter
Kecenderungan untuk mengingkari beberapa perbedaan karakterologikal antara jenis kelamin, karena didesak oleh penerimaan implisit premis-premis dari filsafat anti-kesetaraan; bahwa siapapun yang menginginkan kesetaraan harus dapat membuktikan “perbedaan karakter bukanlah disebabkan kodrat, melainkan karena kondisi sosial yang ada”.
bahkan salah satu mazhab pemikiran mengatakan, kaum perempuan memiliki intuisi, cinta, dan seterusnya, tetapi kualitas-kualitas tersebut kelihatannya tidak membuat mereka tampak pantas dan mampu untuk tugas-tugas masyarakat modern.
Setiap manusia adalah alam semesta bagi dirinya sendiri dan mempunyai cita-citanya sendiri. Tujuannya adalah realisasi dirinya sendiri, termasuk dalam ruang yang dapat membedakan dirinya sendiri, termasuk dalam ruang yang dapat membedakan dirinya dengan yang lain. Jadi kesetaraan adalah dasar bagi perkembangan penuh dari perbedaan-perbedaan dan akan menghasilkan sebuah perkembangan individu.
kita sebaiknya memperhatikan diri kita sendiri dengan peran masing-masing antara laki-laki dan perempuan dalam hubungan seksual, dan sebaliknya menunjukkan bahwa perbedaan ini menghasilkan perbedaan-perbedaan karakterologikal tertentu, perbedaan terutama dalam hal warna yang berbeda, sebagai hasil dari perbedaan peran mereka dalam kehidupan sosial.
dalam fungsi secara seksual, laki-laki harus melakukan ereksi dan harus mampu mempertahankannya selama senggama sampai perempuan mencapai orgasme. Tujuannya adalah memuaskan perempuan. Dia harus sanggup mempertahankan ereksi untuk waktu yang cukup lama sehingga perempuan dapat mengalami orgasme. Ini berarti untuk kepuasan seksual perempuan, laki-laki harus memperlihatkan bahwa dia memiliki kemampuan untuk melakukan dan mempertahankan ereksi.
Laki-laki perlu melakukan ereksi untuk memuaskan perempuan, perempuan tidak perlu melakukan apa-apa kecuali sejumlah keinginan untuk memuaskan laki-laki. Hal ini berarti hasrat seksual perempuan bergantung pada hasrat seksual laki-laki, tapi perempuan melakukan hal itu dengan sadar karena dia menyenanginya.
Bagaimanapun, eksistensi laki-laki bergantung pada fungsi dan kekuatan seksualnya. Barangkali, dia memiliki hasrat seksual dan ereksi yang menentang keinginannya, atau bahkan impoten, walaupun memiliki hasrat seks yang menggebu. Dan kenyatannya akan ketidakmampuan fungsional seks laki-laki adalah hal yang tidak dapat disembunyikan. Kekurangan perempuan baik dari respon spontan maupun parsial “kegagalannya” meskipun sering kali dapat diketahui laki-laki, sama sekali tidak berpengaruh, bahkan terkadang ia harus berpura-pura untuk menutupinya. Jika perempuan menyetujui keinginannya, maka laki-laki dapat memperoleh kepuasan kapan pun dengan perempuan itu.
Sungguh berlawanan dengan pihak perempuan; hasrat seksual yang sangat menyala di pihaknya tak akan menuntunnya kepada kepuasan, kecuali bila laki-laki yang berhasratnya kepadanya mampu ereksi. Bahkan selama senggama, perempuan harus menggantungkan kepuasan penuhnya pada kemampuan laki-laki untuk menuntunnya orgasme. Jadi untuk memuaskan pasangan, laki-laki harus membuktikan sesuatu; sementara perempuan tidak.
Perbedaan peran dalam seksual masing-masing ini diikuti oleh perbedaan dalam kecemasan spesifiknya terkait dengan fungsi seksual. Kecemasan tersebut terletak pada sebuah titik di mana posisi laki-laki dan perempuan sangat rawan. Dalam hal ini posisi laki-laki lebih rawan, karena ketidakmampuan akan membuat dirinya semakin sensitif dan mudah tersinggung. Laki-laki dalam superioritasnya meletakkan seks sebagai simbol ego dan prestisenya. Kegagalan membuatnya merasa lemah dan tidak berguna. Ini sangat berbeda dengan perempuan yang melakukan hubungan seks untuk kesenangan dan pemenuhan biologisnya.
Hal yang membuatnya tidak nyaman adalah kebergantungan pada laki-laki. Perempuan akan merasa sangat frustasi ketika “kesepian” dan tidak memiliki kontrol ketika menginginkan kepuasan seksual. Tidaklah terlalu terkejut, untuk selanjutnya, kecemasan laki-laki dan perempuan merujuk pada perbedaan sfera, dimana laki-laki sangat peduli akan egonya, prestisenya dan pandangan perempuan terhadapnya, sedangkan perempuan lebih peduli dengan kenikmatan dan pemuasan seksualnya.
Perbedaan normal dan neurotis lebih merupakan bagian dari tingkatan kesadaran daripada bagian dari kualitas esensial. apa yang muncul sebagai kecemasan yang sadar dan terus menerus dalam pribadi yang neurotik, merupakan kecemasan yang tersembunyi dan secara kuantitatif sedikitnya ada pada manusia normal. Hanya saja kecemasan dalam individu normal tidak munculkarena kejadian tertentu, yang biasanya menjadi pemicu pada pribadi neurotik.
Laki-laki normal tidak meragukan kemampuannya. Perempuan normal tidak cemas akan dikecewakan secara seksual oleh laki-laki yang dipilihnya sebagai pasangan seksual. Untuk memilih laki-laki yang dianggap dapat memuaskan keinginan seksualnya, adalah bagian dari naluri seksual yang sehat. Perempuan bergantung pada hasrat laki-laki dan laki-laki tidak bergantung pada hasrat perempuan.
Analogi mudahnya. Misalkan perbedaan antara seorang pembicara dengan penontonnya. Meskipun seorang pembicara dihantui oleh kecemasan ketika akan tampil, termasuk orang-orang yang sudah berpengalaman, ada orang lain yang tidak merasakan kecemasan apapun. Meskipun demikian, orang yang tidak mengalami kecemasan, akan tetap merasa lega dan gembira ketika pertunjukannya sukses, karena mereka sadar dapat mengendalikan kecemasan atau ketakutan mengalami kegagalan.
Hubungan seksual antara dua jenis kelamin hampir tidak dapat lepas dari antagonisme dan permusuhan. Setiap laki-laki dan perempuan mempunyai kemampuan untuk mencintai sekaligus kemampuan untuk membenci.
Perasaan takut terbesar dalam diri laki-laki adalah rasa takut akan perubahan. Kecemasan mengenai organ seksual antara laki-laki dan perempuan berbeda. Dalam diri laki-laki, bentuk kecemasannya ide bahwa organ seksual akan dipotong. Sedangkan kecemasan pada perempuan merasa lebih takut sesuatu melukai bagian terdalam tubuhnya. Vagina adalah sebuah gerbang dan juga organ yang paling rahasia dan sangat penting dalam tubuh perempuan. Meskipun sesungguhnya lubang vagina ini terlindungi, kecemasan ini sangat nyata dalam diri perempuan. Kecemasan perempuan normal bukan pada pengebirian, melainkan ketidakmampuan mempertahankan diri terhadap sebuah luka internal, misalnya seperti kehamilan yang tidak diinginkan.
Jika kecemasan utama laki-laki adalah gagal atau tidak dapat menyelesaikan tugas sesuai dengan harapannya, hal yang kemudian dilakukannya adalah menciptakan harapan terhadap prestise akan dirinya. Laki-laki memiliki kerinduan untuk membuktikan pada dirinya, perempuan yang dicintainya, dan orang lain bahwa ia dapat menghidupkan penghargaan terhadapnya. Kerinduan ini membawa sikap kompetitifnya terhadap semua laki-laki lain. Don Juan membuktikan hal ini dalam wilayah seksual, sementara laki-laki lain dengan cara yang tidak langsung, misalnya dengan membunuh banyak musuh, berburu, menghasilkan banyak uang atau lebih sukses daripada saingannya.
Perjuangan laki-laki untuk mempertahankan prestisenya ditunjukkan dengan kesombongannya; mengatakan perempuan lebih suka dipuji daripada laki-laki. Yang patut diperhatikan adalah kodrat suka dipuji. Gambaran utama suka dipuji menunjukan pada dunia luar betapa dirinya seorang laki-laki yang baik.
Dalam diri laki-laki neurotik keinginan menjadi seorang perempuan dapat menjadi kuat, bergantung intensitas rasa takut akan kegagalan yang berakar dalam seluruh struktir kepribadian. Kesempatan-kesempatan laki-laki terhadap kepuasan seksual tidak semata-mata bergantung pada daya tarik seksualnya, tapi kepuasan seksual perempuan sepenuhnya berganung pada daya tarik seksualnya. Upaya perempuan untuk menjadi atraktif dibutuhkan oleh peran seksualnya, sehingga sifat suka dipuji atau kepedulian kepada daya tarik dirinya adalah berasal dari hal lain.
Ketakutan perempuan terhadap rasa bergantung dan frustasi adalah peran yang memaksanya harus menunggu, terkadang mengarah kepada sebuah keinginan yang secara tegas ditekan.
Jika senjata utama laki-laki untuk melawan perempuan adalah kekuasaan fisik dan sosialnya atas perempuan, maka senjata utama perempuan adalah kemampuannya untuk menertawakan laki-laki. Cara yang paling radikal dalam melecehkan laki-laki adalah dengan membuatnya impoten, bisa dengan cara kasar maupun halus. Cara ini terentang mulai dari harapan yang diekspresikan dan dinyatakan sampai dengan frigiditas dan vaginismus, sehingga senggama fisil mustahil dilakukan.
Jika senjata utama laki-laki untuk melawan perempuan adalah kekuasaan fisik dan sosialnya atas perempuan, maka senjata utama perempuan adalah kemampuannya untuk menertawakan laki-laki. cara yang paling radikal dalam melecehkan laki-laki adalah dengan membuatnya impoten. Cara ini terentang mulai dari harapan yang diekspresikan dan dinyatakan sampai dengan frigiditas dan vaginismus, sehingga senggama secara fisik mustahil dilakukan. Salah satu caranya dengan mengekspresikan harapan untuk membuat laki-laki impoten, dan disini sering tampak, tidak diragukan lagi, ketika tendensi-tendensi destruktif dan sadistik ditunjukkan.
Permusuhan spesifik laki-laki adalah untuk menguasai perempuan; sedangkan permusuhan adalah merendahkan laki-laki.
organ kelamin perempuan mempunyai dua sumber kenikmatan. sumber utama dari kenikmatan perempuan terjadi di dalam tubuhnya, sedangkan laki-laki di luar tubuhnya. Laki-laki sangat mudah dikenali ketika memiliki keinginan seksual, sementara perempuan tidak.
karakteristik perempuan berasal dari ketidakmampuan untuk “berdiri di atas kakinya sendiri” secara praktik, emosional dan intelektual; tapi dengan memberikan kondisi yang lain, dia menjadi sumber kesabaran, dapat dipercaya, intensitas cinta, dan perkembangan pesona erotis.
Tak ada hubungan seksual yang lebih baik dibandingkan dengan hubungan antara dua orang. Seks sangat sering merupakan sebuah jalan pintas kepada kedekatan, tetapi sangat menipu. Sementara seks, secara pasti merupakan bagian dari hubungan manusia. Seks yang ada dalam kebudayaan kita dibebani dengan segala fungsi-fungsi lain yang dikuatirkan akan muncul sebagai kebebasan seksual yang besar secara eksklusif.
SEKSUALITAS DAN KARAKTER
Freud telah menunjukan bahwa stigmatisasi seks yang dihasilkan dari perasaan bersalah, sangat kondusif menuju neurosis. Lebih jauh lagi, Freud juga telah membuktikan penyimpangan dari perilaku seksual normal bukanlah anomali, namun lebih merupakan bagian dari perkembangan seksual yang normal dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Dan penyimpangan seksual orang dewasa merupakan sisa-sisa dari pola seksual awal, dan harus dipahami sebagai gejala neurotik, daripada secara moral dikecam sebagai kejahatan.
Freud dan pengikutnya mengasumsikan bahwa sumber energi tingkahlaku manusia yang terbesar adalah seks. Bahwa perkembangan normal libido dapat dipengaruhi lingkungan, terutama ketika masa kanak-kanak dan bahwa keanehan tingkahlaku dan karakter dalam diri orang dewasa berakar dalam keanehan dari hasrat dan tujuan seksualnya. Karakteristik kehidupan seksual seseorang dianggap sebagai representasi yang sempurna dari kepribadian secara keseluruhan.
Tindakan sadistis, Freud mengatakan bahwa impuls sadistis merupakan bagian perilaku seksual anak-anak selama periode tertentu dari perkembangannya. Anggaplah bahwa fase awal dari perkembangan seksual anak-anak ini tetap mendominasi dalam kehidupan seksualnya, maka ketika dewasa dia akan membentuk sadisme sebagai penyimpangan seksual, maupun sebagai struktur karakter yang di dalam hasrat untuk menguasai, ,mendominasi dan merendahkan rekan sesama laki-laki adalah menifestasi atau puncaknya.
Ilustrasi lain tentang tentang hasrat oral. Freud menganggap sebelum dorongan seksual terfokus pada alat-alat kelamin, ia menemukan ungkapan dalam cara-cara yang lebih luas dengan menggunakan zona-zona tubuh yang lain. Dalam pandangan ini, anak-anak dikarakteristikan oleh dominasi kenikmatan libidinal yang berhubungan dengan mulut dan fungsinya untuk makan dan minum. Dan dalam fase seksual yang mantap, tingkahlaku orang dewasa masih akan ditentukan oleh kerinduan oral yang mendasari oleh oral yang mendasari ini. Seorang manusia akan cenderung “disuapi” dan didukung oleh orang lain, bergantung pada mereka, ingin diperhatikan dan secara esensial tetap bersifat pasif.
karakter otoriter yang relasinya dengan orang lain dibatasi harapan akan kekuasaan dan dominasinya, memperlihatkan karakteristik yang sama juga dalam tingkah laku seksualnya. Yang terpenting ialah kepuasan seksual, meskipun pasangan seksnya menderita kesakitan fisik dan emosional. Di sisi lain, pribadi submisif, tendensi masokis untuk mengalami penderitaan dan pendominasian, merupakan sifat karakter yang yang menentukan tingkah laku seksualnya, dan seringkali berasal dari impotensi dan frigiditas.
Orientasiseksual yang menyimpang menunjukan bahwa penyimpangan seksual berakar dalam struktur karakter manusia. Pembelian cinta dan penganiayaan sadis dan masokis ditentukan oleh sifat-sifat dominan dalam karakter seorang manusia, seperti halnya kebahagiaan seksual didasarkan pada kemampuan untuk mencintai.
Selama berabad-abad, seksualitas telah distigma sebagai sesuatu yang buruk secara moralitas, dan sebagai suatu yang terbaik secara moral jika disetujui lewat sekramen perkawinan. Setiap aktivitas seksual yang bukan tujuan penciptaan, terutama semua penyimpangan seksual secara moralitas dianggap jahat. Asumsi ini dilatarbelakangi pandangan bahwa tubuh manusia adalah sumber keburukan dan hanya dengan menekan tuntutan-tuntutan naluriahlah kebaikan dapat tercapai.
Tetapi kelihatannya efek tabu seks juga tidak kalah pentingnya, yaitu perkembangan rasa bersalah yang cukup intens dalam setiap individu. Karena setiap manusia normal memiliki tindakan seksual berdasarkan upaya seksualnya saat anak-anak, maka ketika budaya mengatakan itu sebuah kejahatan, akan membuatnya merasa bersalah. Perasaan ini membuat manusia cenderung menggunakan otoritas yang dimilikinya untuk memenuhi tujuan hidupnya.
Stigmatisasi terhadap seks menghasilkan hal lain yang paling tidak diinginkan: masalah etika dipersempit. Moralitas menjadi hampir diidentikkan dengan moralitas dan kebaikan seksual, dengan ketaatan terhadap tabu-tabu seksual yang dibentuk oleh kebudayaan. Pada dasarnya, namluri seksual dalam penyimpangan sekalipun, bukan ancaman bagi kesejahteraan manusia. Ancaman sesungguhnya adalah mental irasional.
Sebagai contoh tentang hubungan antara tingkah laku seksual dan masalah etika adalah tabu inses. Cinta inses dapat dipahami di sini sebagai sebuah simbol. Ia menyimbolkan ketidakmampuan untuk mencintai “orang asing”, yakni seorang manusia yang dengannya tidak akrab dan tidak dihubungkan dengan ikatan darah atau ikatan lain. Pendorongnya ialah xenophobia, rasa benci dan tidak percaya terhadap orang asing. Inses adalah simbol dari kehangatan dan rasa aman dari rahim dan kebergantungan kepada tali pusar, yang berbeda dengan kemandirian yang dewasa. Hanya jika seorang mencintai “orang asing”, hanya jika seorang menyadari dan merelasikan dirinya dengan esensi manusia dari orang lain, maka orang itu dapat menjadi dirinya sendiri sebagai seorang manusia.
Kita harus membatasi inses dalam artian sempit, sebagai relasi seksual antar anggota dari keluarga yang sama, tetapi kita masih mempraktikan inses dalam bukan dalam pengertian seksual, melainkan pengertian karakterologis, karena kita tidak mampu mencintai orang asing, seorang pribadi yang berbeda latar belakang sosialnya.
Saat ini, secara luasmasyarakat meyakini bahwa kebahagiaan perkawinan dapat disembukan dengan mangaplikasikan teknik-teknik seksual yang lebih baik. Cukup benar, kebanyakan neurosis dihubungkan dengan gangguan seksual, dan sebagai besar orang yang tidak bahagia juga karena frustasi seksual; tetapi tidak benar bila kepuasan seksual adalah penyebab dari atau identik dengan kesehatan mental dan kebahagiaan.
Seringkali para psikoanalisis mendapati pasien yang memiliki kemampuan untuk mencintai dan sangat dekat dengan orang lain, ternyata rusak secara fungsi seksual. Sebenarnya mereka menemptakan kepuasan seksual sebagai pengganti cinta, karena potensi seksual mereka adalah satu-satunya kekuasaan yang membuat mereka merasa percaya diri.
Ketidakmampuan mereka untuk menjadi produktif dalam suasana lain kehidupan dan ketidakbahagiaan, diimbangi dan ditutupi dengan aktivitas seksualnya. Makna dari hasrat-hasrat seksual dan kepuasan mereka, dapat ditentukan hanya dengan merujuk pada struktur karakter. Hasrat seksual dapat menjadi ekspresi takut, suka dipuji, atau sebuah keinginan untuk mendominasi, sekaligus menjadi ekspresi cinta. Pertanyaannya, apakah kepuasan seksual menjamin kebahagiaan, sepenuhnya bergantung pada perannya dalam struktur karakter secara keseluruhan.