No Widgets found in the Sidebar

Januari 2021 menjadi benar-benar bulan permulaan bagi hidupku. Tak hanya soal menjadi perempuan yang sudah tak lagi single, memulai bisnis baru, dan mulai merasakan ada tanda kehidupan lain di rahim.

Aku dan suami bersepakat untuk tidak terburu-buru untuk soal momongan. Sehingga setelah menikah kami masih benar-benar menikmati momen-momen berdua baik di ranjang maupun di luar ranjang hehe. Hingga satu momen aku menyadari bahwa tamu bulanan tak datang tepat waktu seperti bulan-bulan yang lalu. Ini pertanda ada sesuatu yang berbeda. Hingga persis di tanggal 1 Januari aku mengecek urin pagiku, dan ternyata menunjukan 2 garis. Kaget? Pasti, karena jujur saja aku memang belum men set up kesiapan secara mental dan fisik jauh-jauh hari. Seperti beberapa hari yang lalunya aku masih minum es coffee latte dengan rasa pahit yang nggak santai, masih makan dark chocho dan lagi sering-seringnya eksperimen bikin toppokki dengan gochujang + bubuk cabe yang juga nggak santai. Selain itu aku juga punya anak kaki empat hitam yang masih sering goker2 sampah punya tetangga. Jadinya tentu saja kaget adalah respon awalku. Karena pikiran sudah langsung kemana-mana.

Soal respon suami, awalnya dia cuma senyum-senyum aja. Tapi hari-hari berikutnya sikapnya mulai berubahn seiring waktu. Dia mulai lebih sigap dan tentu saja makin banyak ngobrol untuk diskusiin hal-hal yang mestinya nggak perlu aku pikir. (karakter dasarku yang apa-apa harus di prevent itu kadang-kadang jadi toxic). Aku merasa suami makin memberikan aku ruang aman secara psikologis, dan itu membuatku makin berani dan siap bahwa realitasnya aku sedang mengandung.

Semua kebiasaan-kebiasaan otomatis langsung aku rubah. Dengan memaksa diri aku tak lagi banyak interaksi dengan anak kaki empatku, aku tak lagi menghitung-hitung asupan makan seperti biasa, dan aku mulai banyak berhati-hati dalam bertindak, berpikir dan berucap. Aku juga mulai banyak memperhatikan asupan.

Sebelum isi aku memang lagi rutin olah raga dan ngatur pola makan (sedemikian rupa). Selain mau mencapai body goals juga karena biar nambah vitalitas ditengah pekerjaan yang mulai merayap.

Oh ya awal2 aku udah mulai isi, aku masih denial. Masih sering tanya, “apa beneran siap?” “Apakah memang ini waktu yg tepat?” Dan serangkaian pertanyaan lainya. Hingga aku perlahan mulai accept bahwa aku udah ada makhluk lain ditubuhku ketika aku nonton film “Soul”.

Fase recovery pasca 2020 memang masih tetap berlanjut, salah satunya ialah soal memperbaiki soal mindset sebagai “orang tua”. Tentu saja aku tak mau nanti anakku mengalami kejadian yang aku alami. Itulah kenapa pertanyaan soal siap atau tidak terus terngiang dibenak paling dalam. Aku tak mau merasa anak adalah objek, aku tak mau melimpahkan hal2 yg tak bisa kucapai pada anakku kelak. Dan aku tak mau menimbulkan luka padanya hanya karena aku belum selesai menyembuhkan luka masa kecil.

Tapi dari film Soul aku banyak mendapatkan insight. Bahwa ketika aku akhirnya hamil berarti aku hanyalah sebagai perantara untuk benih-benih kebaikan berkembang dan bertumbuh. Tugasku adalah merawatnya dan menjaganya sepenuh hati hingga mereka lahir di dunia dan siap berkelana. Di titik itulah aku belajar bahwa bukan soal kekhawatiran ttg bagaimana nanti sewaktu kehamilan, bagaimana nanti proses melahirkan, dsb. Yap, aku juga sadar bukan hanya soal siap akan kehamilan tapi juga siap menjadi ibu. Parenting dimulai ketika janin tumbuh di rahim, bukan setahun setelahnya.

By celotehyori

Diana Mayorita, yang lebih sering dipanggil dengan YORI. Saat ini berprofesi sebagai psikolog klinis yang concern pada issue seks & relationship. Saat ini juga bersama tim sedang mengembangkan sebuah platform digital untuk memudahkan akses layanan psikologi di Indonesia. Selain itu, juga aktif dalam berbagi edukasi psikologi dan seksologi melalui berbagai media.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.