No Widgets found in the Sidebar

Kehamilan pertamaku tak berlangsung lama, ya hanya bertahan selama dua minggu setelah pemeriksaan pertama. Semuanya berjalan dengan cepat. Saat itu aku bangun tidur dengan perasaan tak nyaman di bagian perut, ya rasa-rasanya seperti mau datang bulan. Saat aku ke kamar mandi, ternyata sudah banyak darah yang membekas di celana dalamku. Aku ingat betul saat itu, aku langsung membangunkan suamiku dan berkata jika aku keguguran. Suamiku pun langsung kaget dan langsung bagun saat itu juga. Namun ia langsung berkata, “sudah nggak apa-apa, mungkin belum rejeki” sambil memelukku.

Saat itu perasaanku campur aduk, antara sedih, kecewa dan senang jadi satu. Jujur saja di kehamilan pertama aku memang belum siap secara lahir dan batin untuk mengandung. Namun, disisi lain aku juga sedih dan kecewa karena aku tak bisa mempertahankan buah cinta dalam kandunganku. Seketika aku merasa gagal dan berkali-kali menyalahkan diri. Tapi hal itu tak aku perlihatkan pada suamiku yang langsung membuat janji priksa di rumah sakit. Karena ada beberapa pekerjaan yang tak bisa ditinggal, suamiku tak bisa mengantarkanku ke rumah sakit. Tentu saja aku gelisah, dengan kondisi yang aku alami saat itu. Perut rasanya senut-senut dan terasa aliran darah yang terus menetes ke pembalut. Tiba urutanku bertemu dokter, aku ceritakan semua yang aku alami pada dokter, tanpa banyak babibu dokter langsung menyuhku berbaring di tempat tidur pemeriksaan. Terlihat jika kantung kehamilanku sudah turun. Saat itu dokter memberikan resep penguat kandungan, harapannya agar kehamilan masih bisa dilanjutkan. Namun aku sudah hopeless dan udah feeling kalo nggak akan bertahan lama.

Benar saja, setelah dua sampai tiga hari mengkonsumsi pil peguat kandungan, darah masih tetap keluar dan bahkan semakin deras. Setiap aku ke kamar mandi perasaanku selalu nggak enak, ya gimana karena selalu ngeliat darah netes. Di hari ketiga, aku ngarasa nggak kuat karena nggak hanya darah cair saja yang keluar dari tubuhku, tapi gumpalan-gumpalan darah yang cukup besar. Perut juga rasanya melilit sampe nangis tapi nggak keluar air mata. Kondisi yang udah nggak makin oke untuk fisik dan psikis akhirnya aku berkomunikasi ke dokter dan disarankan untuk masuk UGD untuk tindakan kuret.

Karena lagi situasi pandemi, hal yang aku kawatirkan bukan soal tindakan kuretnya tapi justru hasil swabnya. Secara aku baru pertama kali swab tes jadi deg-degan dengan hasilnya. Sebab kalo hasilnya positif, aku nggak bisa dirawat di rumah sakit itu, tapi di rumah sakit khusus. Duh campur aduk deh rasanya kala itu. Walau lagi perdarahan, tapi aku merasa badanku sangat vit dan alhamdulillahnya hasil swabnya pun negatif. Malam hari tindakan kuret dilakukan dan aku cuma mondok semalem.

Banyak banget pelajaran yang aku ambil dari kejadian ini. Walau beberapa hari setelahnya aku masih sering menyalahkan diri sendiri, tapi aku sadar bahwa kesiapan metal dan fisik itu penting untuk menyambut kehamilan. Selepas 4 bulan berlalu, alhamdulillah aku kembali mengandung. Tentu saja kondisiku saat ini sudah relatif siap dari sebelumnya. Aku sudah siap untuk menghindari berbagai macam makanan yang aku sukai dulu, sudah siap dengan segala perubahan yang ada dan siap untuk belajar menjadi ibu.

By celotehyori

Diana Mayorita, yang lebih sering dipanggil dengan YORI. Saat ini berprofesi sebagai psikolog klinis yang concern pada issue seks & relationship. Saat ini juga bersama tim sedang mengembangkan sebuah platform digital untuk memudahkan akses layanan psikologi di Indonesia. Selain itu, juga aktif dalam berbagi edukasi psikologi dan seksologi melalui berbagai media.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.