No Widgets found in the Sidebar

Tulisan ini aku tulis pada tahun 2014, tepatnya enam bulan setelah aku lulus S1. Aku menemukan tulisan ini sewaktu lagi beberes folder di laptop. Tulisan yang sayang banget untuk nggak di posting, karena bagiku tulisan ini ibarat monumen. Monumen yang mengembalikan semangatku untuk memperjuangkan jalan yang sudah aku pilih 🙂

Jaman  segalanya serba dimudahkan, begitupun dengan pemilihan program studi. Bagi jenjang s1 bingung pada semester-semester awal itu hal wajar, namun bila tetap merasa bingung dengan program studi yang diambil setelah melewati 4 semester itu baru hal yang kurang wajar (bagi saya). Namun lain halnya dengan jenjang s2. Bagi seseorang yang sudah memutuskan untuk melanjutkan studi s2 pasti sudah memiliki keputusan-keputusan tertentu mengapa perlu melanjutkan studi. Saya sangat jarang menemukan mahasiswa s2 merasakan kegalauan pada jurusan yang dia pilih, kalopun ada pastinya hanya sedikit. Namun, keputusan-keputusan untuk mengambil studi lanjut beragam, ada yang hanya untuk memperpanjang nama (tambah gelar), tuntutan untuk kenaikan jabatan, gengsi, tuntutan profesi, tuntutan keluarga (may be..) dan terakhir tuntutan untuk menambah ilmu. Dari tuntutan-tuntutan yang bergam tersebut akan dapat terlihat mana seseorang yang benar-benar memahami dan menerapkan apa yang ia pelajari (ekspert) atau hanya sekedar memenuhi tuntutan-tuntutan yang ada. Saat ini saya hanya ingin membahas satu program studi ya itu psikologi.

Well, jaman sekarang ini untuk dapat menjadi psikolog seseorang perlu mengambil studi lanjutan S2, banyak progam studi S2 psikologi yang ditawarkan, ada dalam bidang penelitian, bidang terapan dan untuk profesi. Sepengetahuan yang saya miliki, seseorang dikatakan sebagai psikolog bagi yang sudah menjalani program studi mag ister profesi psikologi, namun dalam kenyataannya dilapangan di Indonesia banyak juga yang memiliki gelar dari bidang penelitian berpraktek sebagai psikolog. Hmm untuk saya itu tidak terlalu penting, tapi yang terpenting adalah expert.

Jadi psikolog yang expert itu bukan hanya dengan memiliki gelar semata, tapi perlu memiliki keahlian lebih sesuai dengan bidangnya. Ada salah satu buku tentang psikoterapi yang saya baca ada dua pandangan sebelum memutuskan untuk menjadi psikolog. Pertama, seseorang perlu diberikan berbagai tes psikologi untuk dapat mengetahui apa yang menjadi kelemahan dan kelebihannya. Kedua, seorang psikolog itu harus dapat memecahkan problem yang dialaminya sendiri sebelum membantu orang lain, dengan memecahkan problem yang dialami secara langsung dapat mempelajari apa yang menjadi kelemahan dan kelebihannya. Dari dua pandangan itu sebenarnya intinya sama, yaitu membantu diri sendiri dulu dengan cara mengetahui kelemahan dan kelebihan sebelum membantu orang lain namun dengan cara yang berbeda.

Balik lagi soal expert, sedikit cerita dulu semasa kuliah s1 dulu saya salah satu mahasiswa yang gila nilai atau bisa disebut kejar IPK, semua tugas saya kerjakan dengan sebaik-baiknya bahkan sampai rela timbul permusuhan antar teman hanya karena tugas. Memang hasilnya dapat saya rasakan, dari sekian banyak teman-teman satu angkatan saya adalah mahasiswi yang lulus paling cepat hanya 3 tahun 4 bulan. Bangga rasanya bisa lulus cepat dan nilai yang cukup lumayan, namun kebanggaan itu sedikit demi sedikit mulai pudar. Kenapa ? karena beberapa ilmu yang saya pelajari dulu saya kurang bisa menerapkannya setelah saya lulus. Hal itu saya rasakan karena proporsi teori dan praktek yang tidak seimbang selama saya kuliah dulu. Orang tua sudah memaksa saya untuk lansung lanjut S2 sebulan setelah saya lulus, namun dengan berbagai alasan saya menunda untuk melakukannya. Saya memutuskan untuk bekerja terlebih dulu sebelum memutuskan untuk lanjut S2. Keputusan untuk bekerja sebenarnya bukan soal uang, memang saya butuh uang karena selepas lulus s1 saya sudah tidak ada uang bulanan, tapi keputusan saya untuk bekerja lebih pada untuk mendapatkan pengalaman. Dunia kerja (bukan dunia mencari kerja) memang tidak semudah yang dibayangkan, saya bagaikan anak kecil yang sendirian ditengah hutan sabana, yup saya merasakan kebingungan. Bukan soal bingung harus mengerjakan apa, namun bingung pada gejolak yang ada dalam diri saya. Bagi sarjana psikologi sangat penting untuk memiliki kestabilan emosi dalam menghadapi berbagai situasi, namun sayangnya saya belum memilikinya. Emosi saya sangat tidak stabil dan mudah goyang, terlebih dalam proses pengambilan keputusan. Hal-hal seperti itu saya tidak dapatkan pada masa kuliah dulu, dan keputusan saya untuk mencari pengalaman ternyata tepat. Karena saya memang ingi sekali menjadi psikolog, tapi psikolog yang bener-bener expert dan bukan hanya modal gelar semata. Sungguh lucu bila seorang psikolog masih sering mengalami kelabilan emosi, padahal psikolog akan menangani klien-klien yang mengalami problem-problem terkait emosi. Ya memang untuk menjadi seorang yang benar-benar ahli dibutuhkan mental yang kuat. Banyak hal yang membuat saya mulai mengerti apa yang harus saya persiapkan untuk menjadi psikolog expert kedepannya.

… to be continued

By celotehyori

Diana Mayorita, yang lebih sering dipanggil dengan YORI. Saat ini berprofesi sebagai psikolog klinis yang concern pada issue seks & relationship. Saat ini juga bersama tim sedang mengembangkan sebuah platform digital untuk memudahkan akses layanan psikologi di Indonesia. Selain itu, juga aktif dalam berbagi edukasi psikologi dan seksologi melalui berbagai media.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.