No Widgets found in the Sidebar
sensor

Beberapa hari yang lalu, masyarakat lagi-lagi dihebohkan dengan perkara sensor yang salah alamat. Kali ini sensor atau blur ditujukan pada sebuah tayangan wawancara salah satu atlet renang PON XIX Jabar 2016 yang sedang berada di tepian kolam renang. Sekilas bila diperhatikan, blur membuat atlet putri tersebut terkesan telanjang. Masyarakat geger dan makin mengecam tindakan sensor yang tidak sesuai konteks tersebut.

Banyak netizen atau masyarakat beranggapan semakin banyak hal yang di sensor malah semakin merusak moral dan terjadi pembodohan masyarakat. Kebijakan KPI tersebut sebenarnya bertujuan untuk mengurangi konten porno-grafi di televisi, hal ini didasarkan pada aturan Standar Program Siaran (SPS) KPI, yaitu:

Soal aturan SPS hal pornografi tertuang dalam bab mengenai pelarangan dan pembatasan seksualitas. Pada pasal 18 (h) melarang tayangan yang mengekploitasi dan/atau menampilkan bagian tubuh tertentu, seperti paha, bokong, dan payudara, secara close-up dan/atau medium shot. Sekaligus mencantumkan larangan adegan ciuman bibir, ketelanjangan, dan kekerasan seksual.

Tapi, agaknya penerapan Lembaga Penyiaran (LP) dalam penyensoran terlalu berlebihan dan tidak sesuai dengan konteksnya. Banyak yang tidak setuju, karena bisa berefek pada peningkatan porno-aksi para penontonnya, terlebih pada anak-anak dan remaja yang masih memiliki hasrat ingin tau yang tinggi. Kenapa ya bisa begitu? Yuk kita lihat dari sudut pandang psikologi…

Persepsi

Pada umumnya kita sering kali menggunakan kata persepsi dalam perbincangan sehari-hari, namun sayangnya tak banyak yang tahu apa masud dari persepsi. Menurut Robbins, persepsi merupakan kesan yang diperoleh oleh individu melalui panca indera kemudian di analisa (diorganisir), diintepretasi dan kemudian dievaluasi, sehingga individu tersebut memperoleh makna. Jadi singkatnya, persepsi merupakan pemaknaan dari pengindraan kita. Pada kasus penyensoran atlet renang ini, persepsi yang didapatkan oleh masyarakat merupakan persepsi yang dihasilkan dari proses pengindraan mata, sehingga persepsi tersebut dinamakan persepsi visual.

Nah pada kasus kali ini, perberlakuan blur pada tayangan atlet renang ini lebih pada hal yang mengandung pornografi. Penyensoran yang tidak sesuai konteksnya tersebut malah memberikan makna sebagai suatu hal yang berhubungan dengan pornografi, padahal bila kita cermati bahwa sangat wajar bila seseorang menggunakan bikini atau pakaian renang di kolam renang atau pantai. Karena, masalah utama dari persepsi visual ini tidak semata-mata apa yang dilihat manusia melalui retina matanya,  namun lebih daripada itu adalah bagaimana menjelaskan persepsi dari apa yang benar-benar manusia lihat.

Atensi

Dalam melakukan pemrosesan informasi melalui panca indra, kita akan memberikan atensi yang lebih pada stimulus yang diberikan. Jadi simpelnya, penonton akan memberikan intensi lebih pada bagian tubuh atlet yang diblur. Atensi membuat seseorang akan melakukan pemusatan pikiran pada satu objek dan akan mengabaikan objek lain. Jadi sebenarnya dengan adanya sensor tersebut malah memberikan tanda kita untuk lebih focus pada bagian blurnya. Objek yang diblur pastinya tidak jelas, sehingga manusia akan cenderung mencari tahu apa yang sebenarnya objek tersebut, bisa dengan cara konfirmasi (pencarian sumber lain) atau hanya menggunakan persepsi umum atau hasil dari generalisasi. Perlu diingat bahwa, segala sesuatu yang difokuskan secara terus menerus akan masuk ke alam bawah sadar, sehingga bila ada stimulus yang sama secara otomatis otak akan memberikan pemaknaan yang sama pula. Makin orang penasaran, maka orang akan mencari tahu dan pada akhirnya mencoba dalam bentuk perilaku.

Aku pun sempat survey ke beberapa teman tentang tayangan tersebut, dan sebagian besar menjawab tayangan tersebut menggambarkan seperti wanita yang tak berbusana bila tak melihat kolam renang sebagai backgroundnya. Ya sungguh disayangkan, penyensoran malah berakibat pada pembodohan masyarakat.

Pendidikan Seksualitas

Adanya peristiwa ini, membuat banyak pihak semakin resah, terlebih pada pendidik yang melek tentang pendidikan seksualitas pada anak dan remaja. Pendidikan seksualitas komprehensif berfungsi salah satunya sebagai benteng ketika lingkungan sekitar memberikan stimulus yang tidak sesuai konteksnya. Anak-anak dan remaja yang sudah diajarkan pendidikan seksualitas akan cenderung memiliki pemahaman tentang tubuh yang menurut lingkungan adalah hal yang tabu dibicarakan. Pemahaman tersebut sebenarnya mereduksi anak-anak untuk tidak kaget bila melihat sesuatu yang membuat penasaran dan mencoba-coba. Padahal era sekarang sangat muda bagi anak dan remaja mencari infomasi melalui gadgetnya. Hanya mengetik mobil saja, bisa jadi yang keluar adalah wanita seksi, bagaimana bila mengetik “bagian tubuh yang di blur”??

Sehingga, disanalah peran peran penting pendidikan seksualitas sebagai filter anak dan remaja menerima informasi.

By celotehyori

Diana Mayorita, yang lebih sering dipanggil dengan YORI. Saat ini berprofesi sebagai psikolog klinis yang concern pada issue seks & relationship. Saat ini juga bersama tim sedang mengembangkan sebuah platform digital untuk memudahkan akses layanan psikologi di Indonesia. Selain itu, juga aktif dalam berbagi edukasi psikologi dan seksologi melalui berbagai media.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.