Stress merupakan sesuau yang tidak bisa lepas dari setiap kehidupan. Hampir semua orang pasti mengalami hal ini, baik itu anak kecil, remaja, dewasa maupun yang sudah usia tua. Sampai saat ini stress masih dipandang sebagai sesuatu yang buruk dan dipandang dapat mengakibatkan suatu gangguan seperti depresi. Padahal bila ditelisik lebih lanjut terdapat sisi positif ketika seseorang mengalami stress.
Ketika stres tubuh kita melepaskan hormon kortisol, adrenalin, dan oksitosin. Bahan kimia ini menginstruksikan hati untuk menghasilkan lebih banyak glukosa. Pada gilirannya, glukosa memberi kita dorongan energi yang dimaksudkan untuk membantu kita menghadapi tantangan. Bagi kebanyakan orang, kelebihan gula darah kemudian diserap kembali ke dalam tubuh. Kortisol memiliki dampak tambahan pada tubuh kita, terutama di otak. Kortisol, glukokortikoid, mengganggu pengambilan memori, tetapi meningkatkan pembentukan memori. Menanggapi tekanan yang tidak semestinya, inilah perilaku yang kita inginkan. Kita perlu bertindak untuk menghindari ketidakpastian dan bahaya, tidak terhambat oleh ingatan tentang peristiwa serupa. Formasi memori yang tajam membantu kita menghindari situasi stres di masa depan. Stres memastikan ingatan terbentuk dengan tautan mendalam ke pengalaman. Ketika tubuh melepaskan oksitosin, itu mendorong kita untuk mencari dukungan dari teman dan keluarga. Hal tersebut seperti apa yang dikatakan oleh Shelley Taylor, direktur Social Neuroscience yang melakukan riset tentang efek stres dan oksitosin.
Jika Stress itu baik, mengapa banyak orang yang mengalami stress justru berakhir pada kondisi yang buruk?
Stres yang baik bisa menjadi buruk bagi jika dalam kurun waktu yang berdekatan terlalu banyak mengalami tekanan (deadline pekerjaan terus menerus, persoalan yang tak kunjung terselesaikan, dll). Hal ini dikarena respons stres dipicu dengan cara apa pun sehingga tress menjadi menumpuk.
Tentu saja perlu kita sadari bahwa tidak semua bentuk stres buruk dapat menjadi stres yang baik. Akan tetapi tetap ada kemungkinan untuk mengubahnya menjadi lebih positif dengan merubah persepsi tentang beberapa stresor dalam hidup Anda. Pergeseran sudut pandang ini dapat mengubah pengalaman serta kemampuan dalam memaknai suatu stressor.
Fight or Flight
Dalam beberapa literatur dikatakan bahwa sifat dasar manusia ialah menjauhi rasa sakit dan mendekati rasa senang. Stress yang dimaknai secara negatif tentang akan dipersepsikan sebagai sesuatu yang menyakitkan sehingga membuat pikiran dan tubuh mencari cara untuk bisa lari dari kondisi tersebut. Namun apakah itu akan menyelesaikan masalah? tentu saja tidak karena lari sifatnya hanya pengalihan tapi bukan penyelesaian. Merubah persepsi stress sebagai ancaman dan tantangan secara tidak langsung sangat berdampak pada bagaimana kita merespon stress.
Membangun Resilience (Ketahanan)
Resilience ialah kemampuan untuk pulih dari peristiwa kehidupan yang sulit. Ada sebagaian orang yang memiliki kemampuan ketahanan yang diturunkan dan ada pula yang karena belajar dari pengalaman hidup. Walaupun demikian, resilience itu layaknya otot. Semakin dilatih maka semakin kuat dan begitu sebaliknya. Terdapat berbagai cara untuk melatih otot resilience ini, seperti compassion dan Mindfulness.
Kedua istilah tersebut mungkin saja sudah familiar di telinga teman-teman semua, tapi bisa jadi belum terlalu memahami tentang keduanya. Compassion atau istilah Indonesianya welas asih atau kasih sayang merupakan bentuk dari penerimaan diri. Mengapa penerimaan diri untuk membangun ketahanan? Sebab tanpa kita menerima diri sendiri seutuhnya tentu saja kita akan kehilangan pegangan. Banyak orang sekarang ini bisa menjadi teman baik untuk orang lain namun lupa untuk menjadi teman baik untuk diri sendiri. Tidak memberikan judgement negatif pada diri sendiri merupakan langkah awal dalam hal ini. Setelah bisa mulai menerima kekurangan diri tanpa memberikan judgment negatif maka selanjutnya ialah belajar untuk mindfulness atau sadar.
Mengakui keberadaan sumber daya internal kita dapat dipupuk dengan mempraktikkan perhatian pada diri sendiri. Pikiran kita sudah terlalu sering membawa kita memikirkan hal-hal buruk dimasa depan dan menyesali kesalahan di masa lalu. Sehingga secara tidak langsung kita lupa dengan keberadaan kita yang sesungguhnya di saat ini, maka pulang merupakan salah satu jawaban untuk menjadi sadar. Pulang yang dimaksud bukan secara fisik, namun secara pikiran. Dengan merasa kembali pulang tentu saja tidak mengubah pengalaman yang sedang dialami, namun setidaknya mengeleminasi kondisi-kondisi yang memperburuk. Pulang ke rumah diibaratkan pulang ke suatu kondisi yang nyaman dan aman. Dengan berlatih kesadaran kita akan belajar untuk menemukan perlindungan dalam ingatan menyenangkan dalam diri dan pikirkan kita.
Kita tidak bisa mengontrol kapan stress itu datang dan dalam bentuk seperti apa. Akan tetapi kita bisa mengontrol secara penuh atas bagaimana cara kita merespon ketidakpastian tersebut. Salah satunya ialah dengan melebarkan perspektif kita dalam memaknai berbagai peristiwa dalam kehidupan.
sumber bacaan: positivepsychology.com medium.com/mind-cafe/the-positive-side-of-stress