No Widgets found in the Sidebar

Btw judulnya udah kek berita-berita onlen belom? Wkwkwkwk

Kalian pasti udah banyak baca dari akun-akun gosip atau berita-berita online soal Yuni Shara dan gaya parentingnya yang banyak dihujaaattttt. Tentunya sudah jelas bahwa disini ada plintiran media hanya untuk menaikan traffict! Walau sudah seringkali terjadi, tapi banyak yang nggak mikir kalo plintiran ini efek buruknya lebih panjang daripada baiknya.

Lalu bagaimana konteks soal menemani anak remaja nonton film porno? Apakah itu benar yang dinamakan seks edukasi???

Well, hal yang mesti di clear kan dulu adalah soal peristiwanya dulu.
1. Apakah ortu sengaja memperlihatkan film porno sama anak remaja yang memang belom pernah nonton? Atau,
2 Nemenin nonton karena mergokin anak-anaknya lagi nonton?

Tentu dua hal ini sangat berbeda ya. Memperlihatkan film porno pada remaja yang memang belom pernah nonton / tidak siap, itu salah! Sebab ini sudah masuk dalam kekerasan seksual.

Beda lagi ketika anak udah mulai bertanya, soal hal-hal terkait film porno ke ortu. Nah, ortu bisa tanya tuh (tanpa judgement) ya kenapa anak bisa tanya soal itu? Awalnya kepikiran dari mana, dsb. Kalo ortu pinter-pinter bertanya sama anak, maka anak akan bisa terbuka untuk menceritakan pengalamannya menonton film porno, bahkan bisa jadi berani mengaksesnya di depan ortu untuk bertanya lebih lanjut.

Tentu saja, dalam hal ini ortu punya peluang bagus untuk mengajarkan seks edukasi yang sesuai dengan perkembangan anak. Ingat, seks edukasi bukan soal isi film pornonya ya, tapi soal hal-hal yang tidak realistis dari film porno.

Banyak ortu khawatir anak akan mempraktekkan film porno, tapi ortu lupa membentengi dengan fakta bahwa film porno itu nggak realistis dan bukan jadi menjadi panutan dalam bercinta. Sama halnya ketika suka nonton film Fast Furious dan menjadikan itu panutan dalam hal berkendara. It’s totaly wrong!

Daridapa fokus pada kekhawatiran lebih baik fokus untuk membangun ruang aman dan kepercayaan pada anak untuk tetep mau cerita. Ini hal yang paling sulit sebenernya pada ortu, untuk tetep bisa merespon biasa aja tanpa menunjukkan sisi otoritas. Alih-alih demi kebaikan anak dan melindunginya, justru sikap emosional membuat jarak yang semakin jauh dan membuatnya jadi makin tertutup.

Lalu gimana kalo ternyata anak remaja udah terlanjur mempraktekkan? Nah ini balik lagi ke value keluarga masing-masing. Tapi kebanyakan keluarga di Indo memegang value tentang Ambstinence (gak HS sebelum menikah).

Tentu bagi anak laki-laki dan perempuan perlakuannya perlu dibedakan. Ini bukan soal NO NO NO NO NO NO, tapi soal bagaimana menanamkan value. Seks bukan hanya soal suka sama suka, tapi berani bertanggung jawab lahir dan batin. Bertanggung jawab bukan soal kalo udeh hamil ya, tapi soal bagaimana memaknai bagaimana menjadi seorang pribadi dewasa penuh tanggung jawab atas segala tindakan. Kebanyakan remaja sudah HS karena desakan teman sebaya, kalo belum ngiwi sama pacar berarti belum keren, dsb. Tentu hal-hal begini jauh yang dinamakan perilaku bertanggung jawab.

Buat anak laki-laki mengajarkan untuk belajar menghargai wanita itu jauh lebih sulit dibandingkan mengajarkan anak perempuan untuk berani menolak HS dengan pacarnya. Sebab, kita hidup di negara yang masih memandang perempuan lebih rendah dari laki-laki, dan masih banyak dari kita yang secara nggak sadar masih meng-amininya.

 

 

 

 

 

 

 

By celotehyori

Diana Mayorita, yang lebih sering dipanggil dengan YORI. Saat ini berprofesi sebagai psikolog klinis yang concern pada issue seks & relationship. Saat ini juga bersama tim sedang mengembangkan sebuah platform digital untuk memudahkan akses layanan psikologi di Indonesia. Selain itu, juga aktif dalam berbagi edukasi psikologi dan seksologi melalui berbagai media.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.