Tak dipungkiri bahwa keberadaan pekerja seks memang sudah sangat menyejarah. Hampir setiap peradaban umat manusia tidak pernah absen dari yang namanya sosok seorang wanita penghibur. Banyak sumber yang menyebutkan bahwa profesi pekerja seks adalah profesi yang sudah sangat tua keberadaanya. Dari zaman Mesir kuno hingga Perang Dunia Ke II selalu terselip kisah tentang kehidupan pelacuran.
Di Indonesia sendiri, keberadaan pelacuran sudah ada sejak zaman kerajaan Majapahit dan semakin menjamur hingga datangnya para penjajah ke Indonesia. Kita semua tau bahwa keberadaan pelacuran di Indonesia memang sudah terang-terangan mendapat penolakan hampir dari semua golongan, mulai dari golongan berjubah hingga golongan berdasi. Namun, dibalik penolakan tersebut ada fakta sejarah yang menyebutkan bahwa ada yang mengkaitkan Ir. Soekarno, pelacuran dan kemerdekaan Indonesia. Dalam otobiografi menceritakan bahwa beliau pernah memberdayakan pelacur profesional sebagai solusi menyelamatkan gadis-gadis desa dari kebringasan para tentara Jepang.
“Semata-mata sebagai tindakan darurat, demi menjaga para gadis kita, aku bermaksud memanfaatkan para pelacur di daerah ini. Dengan cara ini, orang-orang asing dapat memuaskan keinginannya dan sebaiknya para gadis tidak diganggu,” beber Soekarno.
Selain itu juga dalam perjuangan mencapai kemerdekaan, ternyata Pak Soekarno juga menggunakan tempat pelacuran sebagai tempat rapat kaum pergerakan demi mengelabuhi para Intel Belanda. Dan yang bikin aku kaget, dalam otobiografinya juga diceritakan bahwa beliau juga menggunakan jasa pekerja seks sebagai mata-mata tentara Belanda walaupun pada saat itu banyak yang menentang. Menurut Pak Soekarno, dengan kemampuan merayu para pelacur ini bisa menggali banyak informasi dari orang-orang Belanda yang jadi pelanggannya.
Dari berbagai sejarah terbukti bahwa kegiatan pelacur memberikan andil yang tidak kecil, sehingga tidak mengherankan bila pelacur itu bisa dijadikan sebagai senjata politik bagi mereka yang tak bisa mengontrol birahi. Walau demikian, pelacuran memang masih belum bisa di terima dengan tangan terbuka di Indonesia. Banyak penolakan sana-sini yang menginginkan penutupan semua lokalisasi. Aku pun setuju, bahwa lokalisasi yang tidak diatur dengan semestinya akan menimbulkan masalah sosial baru di masyarakat.
Secara resmi, memang aturan hukum tentang pelacuran di negara kita tercinta ini masih sangat tidak jelas arahnya. Semakin tidak jelasnya pengaturan tentang pelacuran maka munculah pula permasalahan-permasalahan yang semakin kompleks, kususnya permasalahan sosial dan kesehatan. Semakin banyaknya masalah yang timbul dan tiap tahun jumlah pelacur yang semakin meningkat maka pemerintah mulai membentuk badan-badan sosial, salah satunya dengan pendirian pusat resosialisasi. Resosialisasi yang biasa disingkat dengan Resos adalah sebuah sistem kesejahteraan sosial untuk menciptakan keadaan sosial yang lebih baik bagi orang-orang yang mengalami masalah sosial tertentu. Namun sayangnya, pelacur dalam resosialisasi tetap saja mengalami konflik negatif.
Di Indonesia terdapat beberapa pusat resosialisasi, salah satunya yang berada di Semarang yaitu bernama Resos Argorejo. Resos Argorejo berdiri sejak tahun 1966 yang pertama kali disebut sebagai lokalisasi Sri Kuncoro, karena terletak di Jalan Sri Kuncoro. Namun masyarakat sekitar seringkali menyebutnya sebagai lokalisasi Sunan Kuning karena didalamnya juga terdapat petilasan seorang tokoh Tionghoa penyebar agama Islam yang dikenal denagan Sun-Kun-Ing. Lokalisasi ini dulunya sempat ditutup dan beberapa kali berpindah lokasi, sebelum akhirnya menetap di kawasan Kalibanteng Semarang hingga saat ini. Meski SK bukan satu-satunya kawasan lokalisasi di Semarang, namun nama SK-lah yang paling tersohor.