Diskriminasi Perempuan dari Masa Ke Masa
artikel
Mayorita
Hidup di sebuah negara yang memiliki system patriaki memang menjadi sebuah perjuangan sendiri untuk wanita. Selalu dibanding-bandingkan dan dinomor duakan dari lelaki hampir dalam segala hal. Kita pun sebenarnya menyadari bahwa system patriaki tersebut tak langsung muncul begitu saja, pastinya ada sejarah dibelakangnya yang memberikan pengaruh sangat kuat. Mari sejenak kita kembali pada beratus tahun silam, ketika Indonesia masih terpecah dalam beberapa kerajaan-kerjaan, kita ambil saja contoh yang terdekat yaitu Kerajaan Jawa.
Dalam kerajaan Jawa terdapat istilah selir, yaitu perempuan yang diikat oleh Raja namun tidak berstatus sebagai istri syah. Raja berhak memilih wanita manapun untuk menjadi selirnya dan tak jarang selir merupakan hadiah untuk sang Raja. Para selir hidup di sekeliling raja meski tugasnya hanya membuat raja jadi senang. Pada saat itu, memiliki anak seorang selir adalah sebuah prestasi, sehingga tak jarang banyak abdi dalem sengaja mengirim anak gadisnya ke istana dengan maksud akan menarik perhatian raja.
Berbicara tentang dunia perseliran, ada hal yang sangat berbeda antara selir seorang Raja dengan selir seorang Kumpeni atau Bangsa Eropa yang hidup di tanah Jawa kala itu. Selir seorang Kumpeni akan dijuluki Nyai atau gundik. Gundik bertugas untuk melayani kebutuhan secara lahir maupun batin, jadi tak hanya urusan dapur dan rumah saja, namun juga urusan ranjang menjadi tugasnya. Sama halnya dengan selir, kebanyakan Nyai berasal dari golongan rakyat miskin. Seringkali kemiskinan menjadi sebuah alasan yang kuat orang tua untuk menjual anak gadisnya pada seorang Kumpeni. Beda istilah, namun kontennya sama yaitu menjual gadis pada golongantertentu untuk mendapatkan manfaat tertentu pula.
Namun sayangnya, menjadi seorang Nyai bukanlah sebuah prestasi yang membanggakan di masyarakat. Wanita yang sudah berstatus Nyai perlahan akan mengalami aleanisasi dari masyarakat, dengan banyaknya pergunjingan dan hinaan. Padahal, hidup sebagai Nyai bukan merupakan pilihan, namun keterpaksaan keadaan. Seorang Kumpeni juga bias memiliki lebih dari satu gundik, gundik yang dirasa sudah tak lagi memberikan kepuasan lahir batin dengan mudahnya akan digantikan dengan gundik baru yang lebih muda dan tentunya lebih cantik. Selain bisa didepak kapan saja, sebagian besar Nyai juga mengalami perlakuan yang semena-mena dari tuannya, seperti mengalami kekerasan dan perampasan harta serta hak asuh anak-anak yang mereka lahirkan. Ketika sudah tak lagi dipakai oleh Tuannya, mereka akan dikembalikan ke desa asal. Kembali ke desa asal pun bukan sebuah jawaban dari permasalahan, malah menjadi sumber konflik baru karena seorang bekas gundik tak akan pernah di terima dengan baik dalam masyarakat karena sudah dianggap sebagai pelacur.
Sebenarnya, secara tak sadar bahwa pelacuran muncul dari sistem pergundikan yang penjajah bentuk dan masyarakat yakini. Pada zamannya tak ada seorang wanita yang memiliki keinginan untuk hidup menjadi seorang gundik. Kemiskinan dan kemelaratan membuat mereka terpaksa menjalani kehidupan yang tak mereka inginkan. Sistem patriaki yang memandang seorang laki-laki memiliki kekuasaan lebih tinggi membuat wanita tak berkutik untuk menolak, terlebih budaya Jawa sangat menabukan seorang wanita membantah atau membalas omongan orang yang lebih tua terlebih laki-laki yang lebih tua. Keadaan tersebut diperparah dengan pandangan masyarakat yang memberikan stigma negative pada gundik maupun mantan gundik. Bayangkan saja, kala itu wanita sangat tabu untuk mengenyam bangku sekolah, urusan wanita hanya pada urusan dapur dan kasur bukan buku dan pena. Sehingga, tak dipungkiri seorang mantan gundik yang dibuang oleh tuannya dan ditolak oleh lingkungan terdekatnya memiliki peluang besar menjadi pelacur sungguhan. Seperti kisah Nyai Saritem, gundik asal kota kembang Bandung yang membuka sebuah tempat yang dijadikan untuk tempat kencan para tentara Belanda dan wanita pribumi dan saat ini terkenal menjadi lokalisasi Saritem di Bandung hingga saat ini.
Kehidupan pelacuran sebenarnya tak kan pernah terlepas dengan adanya diskriminasi. Diskriminasi semakin kuat, maka pelacuran pun akan semakin meningkat. Mari kita berlogika secara sederhana. Di Indonesia sendiri, untuk menurunkan angka prostitusi, pemerintah akan serta merta menutup lokalisasi dan melakukan sweeping pada pelacur yang masih memaksa untuk bekerja sembunyi-sembunyi. Selama ini yang menjadi target sasaran hanyalah pelacur, bukan pengguna pelacur. Pelacur tidak akan meningkat bila permintaan akan pelacur tidak tinggi. Siapa pengguna pelacur? Ya pastinya adalah pria. Pria pengguna pelacur tak pernah mendapatkan sanksi seberat wanita pelacur.
Pemberian sanksi yang ringan tersebut tak bisa lepas dari pandangan masyarakat terhadap pria. Bagi sebagian besar kalangan menganggap pria “nakal” adalah suatu kewajaran. Bukan pria namanya kalo tidak nakal, bukan pria namanya kalo tidak main perempuan, dan bukan pria namanya bila tak pernah mabuk-mabukan. Penerimaan dan kemakluman masyarakat pada laki-laki tersebut seakan menjadi pupuk bagi penyebaran pelacuran. Sedangkan wanita, akan sangat mudah mendapatkan label buruk, missal saja wanita merokok sudah dianggap sebagai pelacur padahal kenyatannya tidak.
Tak dapat dipungkiri, diskriminasi pada pelacur sebenarnya sama juga dirasakan oleh ibu rumah tangga. Sebagian besar, pria akan cenderung menyalahkan istri bila tak kunjung memiliki buah cinta dari pernikahan. Suami akan menganggap istri mandul sehingga tak kunjung hamil, padahal kehamilan terjadi bila atas dasar dua pihak bukan satu pihak. Selalu ada kemungkinan bila seorang laki-lakinya yang mandul sedangkan wanitanya yang subur, namun karena merasa berkuasa dan kuat pikiran jernih kadang tak lagi digunakan dan seringkali berujung pada perselingkuhan atau poligami.
Selain itu, dalam hal keputusan dalam mengambil tindakan kontrasepsi masih saja terjadi diskriminasi berbasis gender. Seorang pria akan cenderung menolak untuk dilakukan vasektomi dan lebih menyuruh wanita yang melakukan tubektomi atau menggunakan kontrasepsi lain karena suatu keharusan. Semua dianggap sebagai sebuah kewajaran, karena hal yang tabu bila seorang pria diberi tindakan vasektomi karena akan menurunkan gairah seks. Padahal tak ada salahnya bila pria memilih menggunakan kontrasepsi dan tak berdampak pada penurunan gairah seksual.
Diskriminasi di Indonesia memang makin hari makin menjadi. Kini makin banyak wanita yang semakin tersudutkan akibat adanya diskriminasi berbasis gender. Berkat pejuang-pejuang wanita seperti R.A Kartini, Cut Nyak Dien, dan pejuang perempuan lainnya memberikan sebuah pergerakan baru untuk para wanita Indonesia berjuang melawat ketidak adilan. Perjuang wanita terhadap hak-haknya mulai terlihat kini. Semakin banyak wanita yang memiliki gelar lebih tinggi dibandingkan laki-laki, semakin terbukanya wanita menempati kedudukan yang setaraf dengan laki-laki dan hampir semua wanita bisa melakukan apa yang bisa dilakukan pria, kecuali menghamili. Semua dilakukan untuk satu tujuan yaitu equality, karena wanita berhak untuk mendapatkan kesetaraan dengan laki-laki baik secara lahir, batin dan sosial.