No Widgets found in the Sidebar
celotehyori

“Apa yang kamu bayangkan soal kehidupan pernikahan?”

Begitu tanyaku untuk mengawali sesi sex edukasi pranikah pada seorang gadis yang akan menikah dua minggu lagi. Jawabannya tentu saja masih belum terlalu jelas, yang dia bayangkan menikah adalah momen paling ditunggu karena bisa tinggal satu atap dengan pujaan hatinya tanpa khawatir dianggap zina.

Well.. setiap orang tentu saja punya ekspektasi tersendiri soal pernikahan. Entah itu ekspektasi ke arah yang positif atau sebaliknya. Ekspektasi terbentu dari pengalaman, baik itu pengalaman yang dijalani atau melihat dari apa yang terjadi pada orang lain. Kebanyakan orang selalu berpikir bahwa menikah adalah untuk bisa merasa bahagia. Nggak salah sih, tapi ketika kita belum merasa bahagia dan berpikir dengan menikah hidup bisa mendapatkan kebahagiaan, maka yang terjadi justru sebaliknya.

Banyak sekali kisah pasangan yang bertahun-tahun menjalani hubungan pacaran, namun gagal dalam pernikahan. Tapi banyak juga mereka yang hanya sebentar menjalani pacaran bahkan tidak ada fase pacaran tapi bisa mempertahankan pernikahan sampai maut memisahkan. Jadi, apakah lamanya hubungan sebelum pernikahan menjadi jaminan hubungan yang langgeng? Pastinya tidak ya.

Tapi, aku yang menjalani hubungan pacaran selama 12 tahun merasakan bahwa konflik di awal menikah itu bersumber dari ekspektasi. Iya… masa pacaranku udah kaya wajib belajar ya haha. Oke, lanjut soal ekspektasi yang menjadi sumber konflik di awal pernikahan adalah perubahan status dari pacar menjadi istri. Sebenernya ini bersumber dari diri sendiri yang akhirnya berdampak juga pada pasangan. Dipikiranku saat itu, ketika udah menjadi istri kaya punya kewajiban khusus gitu pada suami seperti kerjaan-kerjaan domestik yang dulu waktu pacaran tentu aja nggak ada. Ketika aku berekspektasi demikian terhadap diriku sendiri, impactnya aku juga memiliki ekspektasi pada suamiku. Dan eng ing eng, hal sepele bisa jadi masalah.

Selama pacaran, tentu aja ada masalah komunikasinya ya. Apalagi kami dari latar belakang yang berbeda. Aku pikir persoalan itu nggak lagi muncul ketika menikah, namun ternyata tetap saja muncul. Bedanya penyelesaian konflik relatif lebih cepat dibandingkan saat pacaran dulu yang bisa sampai berhari-hari hingga berminggu-minggu. Selain kami sudah hapal bagaimana treatmennya, kami juga enggan berlama-lama menyimpan amarah karena kami merasa masih banyak hal yang perlu dipikirkan bersama-sama, apalagi saat ini sudah ada anak.

Sebenernya kita nggak salah untuk memiliki ekspektasi. Hanya saja, ekspektasi perlu kita kelola dan juga nggak saklek. Kalo misalnya memang realitas tidak sesuai dengan ekspektasi, maka ubah ekspektasi dan perlu juga dikompromikan dengan diri sendiri.

Jadi, kembali lagi ke pertanyaan apakah menikah itu bisa membuat bahagia? Ya, jika satu sama lain mau saling terus belajar memahami satu sama lain. Tidak, jika masih kekeuh dengan ego masing-masing yang dianggap paling benar.

Kamu pilih yang mana?

 

By celotehyori

Diana Mayorita, yang lebih sering dipanggil dengan YORI. Saat ini berprofesi sebagai psikolog klinis yang concern pada issue seks & relationship. Saat ini juga bersama tim sedang mengembangkan sebuah platform digital untuk memudahkan akses layanan psikologi di Indonesia. Selain itu, juga aktif dalam berbagi edukasi psikologi dan seksologi melalui berbagai media.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.