No Widgets found in the Sidebar
quarter life crisis

Pernahkah kamu merasa bahwa setelah hidup lebih dari 23 tahun, kamu tidak tahu kemana tujuanmu melangkah?

Pernahkah kamu merasa bahwa apa yang kamu lakukan selama ini ternyata serasa salah jalan dan ingin mencari jalan tapi bingung harus memulainya dari mana?

Atau, Pernahkah kamu merasa selama ini hidup mengikuti pola yang sudah tertata, namun setelah mendapatkan tuntutan sosial untuk berdiri sendiri seakan kamu seperti dilepas ditengah hutan belantara tanpa bantuan seorang pun?

Bila kamu merasakan hal-hal demikian dan mulai mempertanyakan bagaimana hidupmu kedepan berarti kamu sedang mengalami Quarter Life Crisis (QLC).

Dalam psikologi, untuk memahami soal QLC maka bisa menggunakan pendekatan teori perkembangannya dalam penjelasannya yaitu terkait dengan tugas perkembangan. Salah satu teori perkembangan yang cukup terkenal ialah teori perkembangannya Hurlock.

Hurlock mengatakan bahwa setiap rentang usia memiliki tugas perkembangannya masing-masing. Tugas perkembangan merupakan bagian dari social expectation atau ekpektasi yang berasal masyarakat untuk setiap anggotanya. Sehingga setiap kelompok budaya akan memiliki harapan anggotanya menguasai keterampilan tertentu sesuai dengan rentang usia kehidupannya. Setiap perubahan fase sebenarnya memiliki krisisnya masing-masing, ya namanya perubahan fase kan pasti ada konfliknya ya kan?

Misalnya pada usia memasuki sekolah awal. Biasanya anak akan mengalami krisis, yang awalnya selalu ditemani ibu atau orang tua kemanapun pergi, namun ketika memasuki usia sekolah anak harus bejar untuk berani tinggal di kelas dalam beberapa jam tanpa boleh ditemani oleh orang tua. Nah begitu pula dengan QLC yang sebagian besar dialami oleh generasi yang memasuki rentang usia antara 21 sampai dengan 26 tahun.

Ketika kita sudah dianggap dewasa, biasanya lingkungan akan menuntut kita untuk bisa melakukan pilihan. Seringnya fase ini mulai dirasakan ketika masa-masa diujung perkuliahan atau setelah wisuda hehe. “Kakak, habis wisuda mau kerja di mana?” . Pertanyaan itu simpel jawabnya, tapi ribet banget untuk dilakukan. Ya nggak? Ya kan?

Karena biasanya hidup mengikuti arus yang mengalir, begitu dikasih pilihan harus ngikut arus ke kanan atau ke kiri langsung deh bingung. Yang di pikiran hanyalah kekhawatiran-kekhawatiran. Takut gagal lah, takut salah pilih atau takut-takut yang lainnya.

Sebenarnya, QLC ini hanyalah sebuah fase di kehidupan kita menuju fase kehidupan selanjutnya yang tidak perlu dihadapi dengan ketakutan dan kebingungan berlebihan. Perasaan takut dan bingung berlebih, justru menyebabkan kita semakin krisis dan terjebak di dalamnya. Sehingga kita semakin tidak kuasa untuk menentukan langkah. Rasa hati tidak ingin lagi dianggap sebagai remaja yang manja, namun dituntut untuk menjadi orang dewasa yang mandiri kok ya rasanya belum mampu.

Lalu bagaimana cara menghadapi krisis tersebut?

Oleh karena itu agar krisis ini tak terus berlanjut, maka hal pertama yang bisa kita lakukan untuk menjalani Quarter Life Crisis adalah dengan menghentikan sikap overthinking kita. Kita perlu meyakinkan diri sendiri dan mulai lakukan sesuatu. Sudah sering dengar kan, bahwa kita tidak akan mendapatkan apa-apa jika kita tidak bergerak untuk memulainya. Kita bisa mulai dengan kegiatan, yang jika hanya kita bayangkan saja, kita akan merasa bahagia. Kemudian muncul semangat untuk menjalaninya.

Kemudian calm down dulu. Dengan tenang maka kita bisa berpikir secara nalar. Sebab seseorang dalam kondisi krisis biasanya merasa tertekan sehingga dalam mengambil keputusan akan emosional.

Setelah cooling down, langkah selanjutnya ialah identifikasi sumber daya yang dimiliki. Sumber daya yang dimaksud bukan soal finansial, namun lebih pada skill serta pengetahuan apa yang sudah dimiliki sejauh ini.

” Lah mbak, aku ngerasa selama ini gak punya skill apa-apa. Cuma ngikutin pelajaran selama kuliah yang penting IP aman, cepet lulus. Tapi entah deh esensi kuliahnya apa.. 🙁 “

Bagi yang dalam kondisi demikian maka yang aku saranin untuk pertama kali dilakukan ialah dengan identifikasi prioritas hidup. Apa yang menjadi prioritas dalam satu tahun kedepan? apakah prioritas mencari pekerjaan untuk bisa punya kemandirian finansial atau memang ingin punya hidup yang lebih meaningful dengan melakukan sesuatu sesuai dengan passion (gairah).

Bagi yang prioritasnya untuk kemandirian finansial, maka hal yang lebih utama ialah mencari pekerjaan yang sesuai dengan kamampuan, syukur-syukur sesuai dengan minat. Tapi kalo memang belum ketemu pekerjaan yang sesuai passion maka tak perlu idealis, yang terpenting ialah bekerja dapat penghasilan dan kamu tentu saja kamu bisa melakukan pekerjaan tersebut dengan baik (gak asal kerja). Dengan kamu aman secara finansial maka kamu bisa melakukan hal-hal yang kamu sukai or terkait dengan passionmu.

Ngomongin soal passion lebih lanjut lagi nanti aku buatin satu artikelnya ya, sebab menurutku yang namanya passion itu tidak seperti yang dikira selama ini 😀

Nah, bagi kamu yang secara finansial sudah aman dan mapan, tapi merasa kok hidup gini-gini aja kaya robot maka kamu bisa melakukan perjalanan menuju dirimu. Hah? gimana bisa??? Hal ini bisa dengan kontemplasi untuk membuat hidup yang seperti apa yang ingin kamu jalani (meaningful & value) atau bisa juga dengan eksplorasi, mencoba banyak hal bahkan mencoba sesuatu yang belum pernah dilakukan sebelumnya.

Ketika mulai action tak perlu muluk-muluk memberikan syarat pada diri sendiri harus bisa ini itu, harus punya ini itu dulu dan bla bla.. Kalo begitu ya sama aja gak jalan-jalan. Mulai dengan apa yang kamu bisa dan apa yang kamu punya. Kalo punya suatu keinginan maka jadikan itu sebagai itu sebagai motivasi sehingga memunculkan daya dorong untuk terus bergerak majuuu.

And don’t be panic.. relax.. you can do it, when you believe 😀

 

By celotehyori

Diana Mayorita, yang lebih sering dipanggil dengan YORI. Saat ini berprofesi sebagai psikolog klinis yang concern pada issue seks & relationship. Saat ini juga bersama tim sedang mengembangkan sebuah platform digital untuk memudahkan akses layanan psikologi di Indonesia. Selain itu, juga aktif dalam berbagi edukasi psikologi dan seksologi melalui berbagai media.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.