Korban kekerasan seksual setiap tahunnya rata-rata jumlahnya semakin naik. Menurut data dari komnas perempuan, dari tahun 2007 sampai dengan 2018. Satu tahun terakhir saja terdapat peningkatan yang sangat tinggi yaitu sebanyak 25%. Ini baru data kasus yang berhasil dilaporkan, belum dari kasus-kasus yang tidak terdeteksi sehingga tidak bisa terlaporkan. Masih dari laporan data Komnas Perempuan, bahwa pada tahun 2017 didapat kasusu kekerasan fisik sebanyak 41%, kekerasan seksual sebanyak 31%, kekerasan psikis 15% dan sisanya ialah kekerasan ekonomi.
Dan dari ketika didetilkan pada kasus kekerasan seksual dalam ranah privat ialah sebagai berikut.
Data berbicara bahwa kasus incest sangat tinggi! Bayangkan kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh keluarga sendiri justru lebih tinggi dibandingkan dengan yang dilakukan oleh orang lain. Pelaku incest yang terbanyak ialah dilakukan oleh ayah dan paman.
Kalo lihat data-data itu hanya bikin ngelus dada dan geleng-geleng kepala. Tapi tentu aja hanya dengan geleng2 dan ngelus dada aja kasus kekerasan seksual tak akan turun jumlahnya bila kita tidak bertindak bersama.
Kekerasan seksual cenderung menimbulkan dampak traumatis baik pada anak maupun pada orang dewasa. Namun kasus kekerasan seksual sering tidak terungkap karena adanya penyangkalan peristiwa kekerasan seksual tersebut. Lebih spesifik lagi bahwa kendala yang menghambat seseorang dalam melaporkan kasus kekerasan seksual adalah anak-anak korban kekerasan seksual tidak mengerti bahwa dirinya menjadi korban, korban takut untuk menceritakan, dan korban enggan untuk bercerita karena ini dianggap sebagai aib. Terlebih yang melakukan keluarga sendiri, ya kan?
Dampak fisik dari kekerasan seksual pemulihannya relatif lebih cepat, namun bagaimana dengan dampak secara psikis? Trauma psikis akibat kekerasan seksual butuh pemulihan bertahun-tahun lamanya. Mungkin setelah kejadian tak langsung terlihat perubahan perilakunya, namun biasanya korban kekerasan seksual akan mengalami beberapa bulan setelahnya. Perubahan perilaku bisa bentuknya macam-macam, seperti mengalami gangguan makan, masalah seksual, gejala somatik, penghargaan diri menjadi sangat rendah hingga ada juga yang mengalami stress pasca trauma atau PTSD (post traumatic disorder). Menurut Kaplan, PTSD merupakan sindrom kecemasan, labilitas autonomic, ketidakrentanan emosional, dan kilas balik dari pengalaman yang amat pedih yang melampaui batas orang biasa.
Biasanya para penyintas kekerasan seksual berjuang hampir selama hidupnya. Karena pengalaman traumatis tersebut tidak bisa dilupakan dan tentu tidak akan hilang seumur hidup. Untuk bisa pulih dan bisa berdamai atas kejadian masa lalu yang menyakitkan, tentu saja penyintas akan menghadapi beberapa fase. Menurut Dr. Elisabet Kubler-Ross terdapat lima tahapan kedukaan (The Five Stages of Grief) yaitu:
1. Denial (penyangkalan)
Pada tahap ini korban akan menyangkal kejadian yang terjadi padanya. Muncul dalam bentuk pernyataan “ini bukan aku”, “aku baru saja mimpi buruk”, dan sebagainya. Penyangkalan merupakan bentuk dari temporary defence mechanism.
2. Anger (marah)
ketika penyangkalan sudah tak lagi tertahankan maka korban akan memunculkan sikap marah dan benci pada pelaku atau pada lingkungan. Bentuk kemarahan biasanya diproyeksikan pada eksternal ataupun internal. Kemarahan yang terproyeksi pada eksternal seperti melempar-lembar barang, memaki orang atau bahkan Tuhan, memukul, dsb. Sedangkan yang bersifat internal seperti mengurung diri, menyakiti diri sendiri. Hal ini muncul karena korban menyalahkan diri sendiri mengapa kejadian traumatis bisa sampai terjadi.
3. Bargaining (tawar-menawar)
ketika kemarahan sudah agak reda, maka korban akan memasuki tahap tawar menawar. Tawar – menawar yang dimaksud ialah korban akan melakukan sesuatu yang dapat mengurangi kesedihan yang dirasakannya. Misalnya seperti ada hal yang ingin dilakukan korban untuk melupakan apa yang selama ini terjadi, seperti berusaha untuk terus bertahan demi melihat anak wisuda, ingin melanjutkan kuliah agar bisa membantu orang-orang yang senasib, dsb. Korban telah muncul secercah harapan untuk kehidupannya, walau kadang memori pahit masih timbul tenggelam.
4. Depression (depresi)
Pada perjalannya, korban akan mengalami fase kelelahan. Hal tersebut wajar karena dalam usaha untuk perbaikan terus menerus membutuhkan tenaga yang ekstra. Kelehan tersebut memunculkan rasa putus asa karena merasa masa pemulihan tak kunjung selesai. Hal tersebut berdampak pada hilanya gairah hidup, merasa sangat sedih, kehilangan nafsu makan dan perubahan mood yang signifikan.
5. Acceptance (penerimaan)
Untuk bisa mencapai tahap penerimaan terkadang harus bolak balik dari setiap fase beberapa kali hingga akhirnya mencapai tahap penerimaan. Terdapat dua tipe penerimaan yaitu penerimaan secara intelektual dan emosional. Penerimaan intelektual lebih pada memahami apa yang terjadi secara, sedangkan penerimaan emosional ketika korban sudah berani untuk menceritakan apa yang dialami pada orang lain sebagai bentuk dari pembelajaran bersama tanpa muncul reaksi emosi yang meledak-ledak.
Tahap pemulihan setiap korban berbeda-beda, ada yang satu tahun sudah mulai bisa pulah dan ada pula sampai 20 tahun baru bisa menerima kondisi yang dialami dan berdamai atas hal tersebut. Sayangnya, banyak juga dari korban kekerasan seksual terhenti pada tahap denial, anger dan depression. Sehingga dampaknya ialah muncul gangguan disosiatif, ketergantungan obat terlarang dan alkohol, gangguan makan, atau perilaku kompulsif.
Oleh karena itu yuk kita bersama-sama untuk melindungi orang-orang tercinta agar tidak sampai mengalami kekerasan seksual. kalaupun sudah sampai terjadi maka berikan support secara penuh agar korban dapat melalui proses pemulihan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Selain itu kalian juga bisa mengakses pendampingan yang diberikan oleh pemerintah terkait kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Bagi teman-teman yang membutuhkan informasi terkait pendampingan hukum maupun psikologis bagi korban kekerasan seksual bisa akses P2TP2 (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) di Kabupaten/Kota se Indonesia.
sumber: Jurnal insan Media Psikologi – Pemulihan Diri pada Korban Kekerasan Seksual
www.komnasperempuan.go.id