Hai.. Terapi Menulis merupakan kolom baru di web celotehyori.com yang berisi tentang pengalaman pribadi dalam menjalani terapi menulis. Dalam kolom ini tentu saja akan khusus membahas all about terapi menulis.Stay update yaak
Bisa dikatakan menulis merupakan salah satu ketrampilan yang wajib kita miliki dari sejak kecil. Biasanya ketrampilan menulis ini diajarkan beriringan dengan ketrampilan membaca. Bahkan bagi taman kanak-kanak yang lebih modern sudah menyandingkan ketrampilan berhitung dalam mengajarkan baca dan tulis pada anak didik mereka. Biasanya program pendidikan ketrampilan tersebut disingkat dengan CALISTUNG (baca, tulis, hitung).
Membaca, menulis maupun menghitung kini menjadi dasar yang wajib dimiliki anak-anak untuk bisa melanjutkan ke taraf pendidikan selanjutnya. Ya, sudah dari saya taman kanak-kanak dulu, ketika ingin memasuki SD saja saya sudah dituntut bisa membaca, menulis dan menghitung sederhana. Dan seiring dengan perkembangan zaman, anak taman kanak-kanak sekarang memiliki beban yang lebih tinggi, mungkin tak hanya ketrampilan CALISTUNG saja yang wajib dimiliki, namun sudah sampai harus bisa basaha asing seperti bahasa Inggris atau bahasa Arab walau dalam taraf yang sederhana.
Padahal, usia taman kanak-kanak merupakan usia bermain dan eksplorasi. Namun pada kenyataanya, institusi sudah mengharuskan anak-anak untuk bisa memiliki ketrampilan yang seabrek. Itulah mengapa saya sering sekali mendengar keluhan orang tua murid tentang anaknya, “Ini lho Mbak, Tony kalo disuruh belajar menulis sulitnya minta ampun. Maunya mainan teruss..”
Selain orang tua yang menjadi banyak mengeluhkan anak-anaknya yang menjadi enggan belajar, anak-anak juga melihat aktivitas CALISTUNG itu menjadi sesuatu yang berat. Ya, mereka tak lagi melihat sebuah keasyikan bagaimana untuk merangkai kata atau keinginan tahuan untuk membaca lebih lanjut buku cerita yang sebelumnya sudah Ibu guru ceritakan di depan kelas.
Itulah mengapa, ketika Tony kecil menjadi dewasa menjadi malas untuk membaca buku dan menulis serangkaian cerita dari alam imajinasinya. Karena secara tidak sadar bahwa ketrampilan membaca dan menulis merupakan sesuatu yang membebankan dan tentunya berat untuk dijalani.
Mungkin tak hanya Tony yang merasakan hal tersebut. Banyak sekali di luar sana orang-orang yang seperti Tony, dan salah satu diantaranya termasuk saya. Ya, saya pernah mengalami kondisi seperti Tony, ketika memandang aktivitas membaca dan menulis itu ialah aktivitas yang menjemukan bin membosankan.
Sebelum aktif menjadi blogger dan content writer, jujur saja saya adalah pribadi yang sangat menghindari aktivitas menulis. Awalnya saya tidak menyadari apa penyebab saya menjadi salangat malas dengan aktivitas tersebut. Namun setelah saya telusuri, ternyata saya memiliki pengalaman buruk dengan menulis. Izinkan saya menceritakannya sekilas ya.
Dulu sewaktu kelas 1 SD, saya bersekolah di sebuah sekolah yang ditempati oleh dua Sekolah Dasar. Ya, misalnya saja SD Pagi 01 dan SD Sore 02. Sehingga kelas yang saya tempati mau tidak mau dibagi dengan kelas 2 yang masuknya lebih siang daripada kelas 1. Singkat cerita kala itu guru memberikan kami PR di papan tulis dan harus kami salin di buku tulis. Kala itu saya adalah siswa yang sangat lambat dalam menulis. Ya, jujur walau sudah kelas 1 SD saya masih mengeja saat membaca. Sehingga saat menuliskan waktu saya habis hanya untuk mengeja tulisan yang ada di papan tulis. Dampaknya saya menjadi siswa terakhir yang belum selesai menyalin tugas. Padahal di depan pintu sudah berjubel anak-anak kelas dua yang ingin berebut masuk kelas. Sedangkan teman-teman yang lain sudah bersiap untuk pulang. Keringat saya bercucuran karena takut ditinggal dan alhasil saya menangis. Untung saja guru saya baik, sehingga membantu saya untuk menyalin tugas di buku PR.
Sejak kejadian itu, saya bertekad menjadi siswa yang paling cepat dalam menyalin tulisan. Alhasil tulisan saya acak adul karena saking cepatnya menulis dan seringkali typo. Itulah mengapa saya menjadi kurang suka dengan aktivitas menulis. Bagi saya yang dulu, menulis ialah sebuah aktivitas yang membuat saya tidak nyaman.
Bagaimana dengan membaca? Mirip-mirip dengan aktivitas menulis membaca menjadi suatu aktivitas yang membuat saya mengantuk. Minat baca saya sangat kurang ketika kecil sampai beranjak SMP. Saya ingat betul, ketika diberi tugas untuk membaca koran saja saya sudah pusing. Ya, tulisan yang banyak dan dengan font yang sangat kecil membuat saya semakin enggan membaca.
Namun seiring dengan pergargaulan saya minat baca saya seiring sejalan mulai meningkat. Saat SMP teman-teman satu genk saya sangat menggilai Harry Potter dan yah alhasil kami bergiliran membaca semua seri buku Harry Potter yang tebalnya melebihi kamus bahasa Inggris – Indonesia yang konon katanya jumlahnya hampir 1 miliar terjemahan, hehe. Walau saya masih pembaca yang lambat, tapi saya mulai menikmati rasanya penasaran ketika membaca lembar demi lembar. Saya masih ingat betul, untuk menyelesaikan 1 buku saja bisa memakan waktu sampai 1 bulan lamanya. Ketika saja tidak paham dengan alur cerita, saya tidak segan-segan untuk mengulanginya kembali sampai benar-benar paham. Itulah mengapa sampai-sampai mata yang tadinya normal menjadi minus setelah membaca buku-buku yang tebal tersebut.
Saya sangat berterima kasih pada JK Rowling yang telah melahirkan karya yang sangat luar biasa tersebut dan tentunya saya berterima kasih karena telah membantu saya menemukan apa yang membuat saya minat dalam membaca.
Lalu bagaimana dengan aktivitas menulis? Apakah pada masa SMP juga saya menemukan gairah untuk menulis? Hmm.. sayangnya tidak. Justru minat saya untuk menulis baru saya temukan beberapa tahun terakhir ini, ya kurang lebih sekitar 5 tahun belakangan.
Awal saya menulis ialah ketika saya mendapatkan kesempatan untuk bekerja di salah satu LSM yang bergerak dalam pemberdayaan pelacur (saya tidak menggunakan wanita pekerja seks karena tindakan tersebut bukanlah suatu pekerjaan). Sehingga, hampir setiap harinya saya berkomunikasi secara langsung dengan mereka. Banyak sekali kisah-kisah tersembunyi yang selama ini tidak pernah saya dengar sebelumnya. Dan tentu saja ini sangat berbeda sekali seperti yang saya dengar ketika saya belum pernah masuk ke area lokalisasi. Yang sebelumnya saya menganggap wanita yang melacur semuanya hina, perlahan-lahan pemikiran tersebut luntur. Memang pekerjaan mereka hina dan tidak bermartabat, namun mereka manusia yang sama seperti kita. Namun bedanya, mereka keliru ketika mengambil jalan dan sulit untuk keluar dari pilihan tersebut.
Dari banyak kisah yang saya dengar setiap harinya membuat saya ingin sekali menuliskan kisah-kisah mereka. Satu persatu saya tuliskan, sampai tak terasa sudah mencapai 20 kisah dan hasilnya lebih dari seratus halaman. Kumpulan cerita tersebut sempat saya kirimkan ke beberapa penerbit, namun sampai saat ini belum ada penerbit yang meliriknya. Bagi saya tak mengapa, toh niat awal saya bukan untuk dikomersialkan. Kalau ada penerbit yang berminat syukur, kalau tidak ada ya tidak jadi soal. Beberapa tulisan saya sudah saya post di blog di kolom Sisi Lain Kehidupan Pelacur.
Selain itu, saya mulai mencintai sesuatu yang dulu sempat saya benci ialah karena saya menemukan jati diri saya melalui menulis. Hah? Bagaimana bisa?
Saya menemukan sebuah cara untuk membantu saya menemukan jati diri dan menyembuhkan diri melalui menulis. Awalnya saya direkomendasikan seorang kawan untuk menuliskan segala hal yang dirasakan. Kesedihan, kekecewaan dan seabrek rasa lain yang seringkali membuat saya down. Awalnya saya merasa kegiatan tersebut hanya membuang-buang waktu, untuk apa menuliskan rasa sedih yang notabene ingin saya hilangkan? Tapi kawan saya tersebut tetap meminta saya untuk menuliskannya, sedikit tak apa yang terpenting mencurahkan apa yang saya rasakan. Saya pun mulai menuliskannya, awalnya sulit karena tidak terbiasa menulis dan secara otomatis “autocorrect” muncul. Namun seiring saya menulis dengan tidak memperdulikan typo dan gaya bahasa saya semakin relax. Ketegangan dalam diri perlahan menurun dan membuat saya menjadi lebih nyaman. Saya menjadi lebih tenang dan dapat berpikir lebih logis. Dan ternyata yang saya lakukan ini merupakan bagian dari TERAPI MENULIS.
Dan seiring waktu dan semakin banyak melakukan terapi menulis, tak hanya menyembuhkan diri sendiri saya juga menemukan jati diri saya.
Dipostingan selanjutnya, saya akan share lebih lanjut ya..