Pembahasan soal toxic relationship kini sudah menjadi suatu pembahasan yang umum. Bukan karena trendnya sedang meningkat, namun karena ini salah satu dari pengetahuan dasar yang penting dalam membangun pola hubungan yang sehat. Dalam tulisan kali ini aku tak akan banyak bicara soal macam-macam toxic relationship atau ciri-cirinya. Namun lebih dalam lagi, aku akan membahas soal fenomena sulitnya melepaskan diri dari jeratan pasangan yang toxic.
Mungkin teman-teman sudah mulai menyadari bahwa suatu relasi yang tidak sehat bisa terjadi karena ada celah di kedua belah pihak. Masing-masing memberikan andil dalam langgengnya relasi yang beracun tersebut. Misalnya saja dalam ketimpangan relasi kuasa dalam abusive relationship. Disini aku tidak akan membahas soal gender, karena baik laki-laki dan perempuan sama-sama punya potensi sebagai pelaku maupun korban. Dalam abusive relationship, pelaku akan menggunakan powernya untuk mengontrol korban. Pola tersebut bisa terjadi karena juga ada peran serta dari korban, seperti tidak speak up ketika mendapatkan kontrol secara berlebihan dari pelaku pada aspek kehidupannya, tidak melawan saat terjadi verbal abuse, dsb. Karena korban adalah pihak yang mendapatkan lebih banyak kerugian daripada pelaku, tentu saja konsentrasi masayarakat akan cenderung melihat pada sisi korban.
“Kenapa sih, udah tau disakitin, dikasarin, dan diperlakukan semena-mena gitu masih aja mau mempertahankan hubungan?”
Pertanyaanya, siapa sih yang mau digituin?
Namanya di awal menjalin hubungan pasti pengennya bahagia, seneng-seneng dan bisa terus ketawa-ketawa. Namun setiap orang memiliki issue atau persoalan personal yang beda-beda. Tak semua orang dilatih untuk bisa speak up ketika mendapatkan perlakuan yang semena-mena. Begitu juga dengan korban kekerasan, sebagian besar dari mereka punya issue soal self esteem (problem penghargaan diri). Ketika seseorang memiliki problem dalam melihat dirinya secara positif maka akan muncul persepsi diri yang buruk dan merasa tidak berharga maka akan cenderung sulit untuk bisa mengambil keputusan yang logis. Justru porsi menyalahkan diri akan semakin besar ketika mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari pasangan, ujungnya merasa gak berhak hidup bahagia, merasa useless, merasa cuma ngrepotin orang, dsb.
Nah, disini paham ya kenapa gak semudah itu korban mengambil keputusan untuk pergi?
Selain dari sisi personal issue, ada juga faktor lain yang mempengaruhi salah satunya adalah sunk cost fallacy effect. Sunk cost berasal dari istilah ekonomi bisnis yang berarti efek biaya hangus atau biaya retrospektif, yaitu biaya yang telah dikeluarkan atau diinvestasikan namun tidak dapat dikembalikan. Sedangkan sunk cost fallacy adalah kekeliruan cara pikir seseorang untuk terus bertahan bahkan terus melanjutkan upaya karena telah menginvestasikan banyak uang, waktu dan sumberdaya di dalamnya walau sudah tidak lagi relevan untuk masa yang akan datang.
Dalam hal relasi intim, sunk cost falacy akan membuat seseorang sulit untuk memutuskan suatu hubungan karena ada harapan yang ingin didapatkan walau sebenarnya sudah tidak memungkinkan. Mereka akan sulit untuk berpikir secara rasional dan tidak menerima kenyataan bahwa apa yang sudah “dikorbankan” berupa investasi emosi, waktu, uang, tenaga bahkan ((seks)) yang selama ini tak akan membuahkan hasil yang baik di kedepannya.
Tentu saja ada alasan kuat mengapa seseorang mempertahankan sesuatu yang sudah tidak layak. Alasan kuat tersebut didorong oleh suatu keyakinan yang dipegang teguh, salah satunya seperti tidak ingin merasa apa yang telah diperjuangkan menjadi sia-sia. Selain itu, Christopher Olivola asisten profesor pemasaran di Universitas Cargnegie Mellon menunjukan dalam penelitiannya baru-baru ini bahwa kekeliruan akan semakin diyakini ketika ada seseorang yang memperkuat persepsi tersebut. Misalnya seperti saran orang terdekat untuk tidak meninggalkan hubungan karena akan sulit untuk menemukan pengganti yang lebih baik.
Itulah mengapa mereka yang menjadi korban kekerasan dalam relasi intim berpeluang untuk berada di situasi sama dengan orang yang berbeda, jika tidak mendapatkan penanganan secara khusus. Jangan mudah memberikan label “goblok” pada korban yang seakan sulit melepaskan diri dari pelaku.