Semalam kalau nggak salah di twitter sedang trending kasus pelecehan seksual yang melibatkan seorang oknum dosen di Jogja. Aku sendiri baru mengetahui soal berita itu tadi pagi, jadi agak ketinggalan informasi hehe. Dari hasil pencarian, banyak sekali unggahan kembali semacam video klarifikasi ybs soal penelitian swinger yang ternyata bohong serta pengakuan tindakan pelecehan yang sudah dilakukan pada banyak wanita. Ngakunya sih dia punya fantasi swinger dan ingin melakukan virtual swinger. Hal yang gak kalah seru dari baca twit yang ada yaitu baca komentar-komentar netizen. Banyak banget yang bilang kalo si dosen satu ini adalah orang yang punya kelainan, sinting, gak bermoral, dsb.
Nah dari situ aku jadi bisa meraba bahwa banyak netizen yang masih keliru dalam memahami fenomena swinger ini. Sebenarnya sih nggak heran, karena nggak banyak yang bahas swinger dari sisi ilmu, tapi sebaliknya lebih banyak forum yang bahas soal tutorial dan bahkan penyedia jasa swinger.
So let’s talk about it!
Kemunculan praktik swinging ini sebenarnya udah ada dari zaman kuno bin dahulu kala, dalam beberapa catatan kuno juga disebutkan banyak ritual penyembahan yang melibatkan aktivitas seksual, salah satunya swinging. Semakin berkembangnya peradaban maka praktik-praktik ritual demikian mulai di tinggalkan.
Namun praktik swinging ini muncul kembali di zaman perang dunia ke-dua, sekitar tahun 1940an dimana dilakukan oleh kalangan pilot militer AS. Tentu saja kemunculannya tidak ada kaitannya dengan ritual seperti zaman kuno. Tingginya kematian pilot pesawat tempur pada masa itu membuat para pilot menyadari bahwa mereka tidak bisa memberikan jaminan hidup untuk istri dan anak-anaknya kelak. Maka para pilot membuat suatu jaring penyelamat dalam circle mereka untuk agar ketika mereka meninggal dalam peperangan istrinya yang menjadi janda tetap ada jaminan penghidupan kedepan dari sesama pilot dalam circle yang sama. Tentu mereka tak hanya memikirkan soal penghidupan secara material, tapi juga secara emosional dan seksual. Sehingga praktik swinging ini menjadi suatu bentuk ikatan dalam circle tersebut. Praktik ini ternyata tak hanya dilakukan oleh pilot tapi juga prajurit dan meluas ke masyarakat sipil. Namun, bagi beberapa peneliti sejarah berpendapat bahwa kisah ini seperti dibuat-buat, tetap ada pro dan kontra pastinya.
Berbeda praktik swinging zaman kuno dan masa perang, maka berbeda juga dengan zaman sekarang. Praktik seks dengan bertukar pasangan kini sudah berevolusi menjadi praktik yang bertujuan untuk rekreasional. Beberapa pasangan yang sudah mulai merasa bosan dengan aktivitas seks mereka yang begitu-begitu saja mulai melirik swinging menjadi alternatif untuk mendapatkan sensasi bercinta yang berbeda. Ada beberapa anggapan bahwa praktik ini dianggap sah karena diketahui oleh pasangan dan atas persetujuan kedua belah pihak. Toh dilakukannya dalam waktu dan tempat yang sama, jadi hal ini bukan sesuatu yang dianggap melanggar komitmen. Dalam suatu survey yang dilakukan di AS tahun 2000 pada pengunjung situs swingging, menyatakan bahwa para swinger merasa lebih bahagia dalam hubungan mereka daripada hubungan yang normatif. Hasil survey juga mencatat bahwa 60% merasa dengan menjadi swinger dapat meningkatkan kualitas hubungan, dan menyatakan juga merasa lebih bahagia dibandingkan sebelum menjadi swinger. Para swinger menyebutnya praktik bertukar pasangan ini lebih pada sebagai gaya hidup atau alternatif gaya hidup semata.
Sebelum lebih lanjut membahas soal praktik swinging, agar tidak semakin membuat pusing kepala maka ada hal yang perlu di perjelas dulu. Dalam relationship ada yang namanya monogami dan non-monogami. Mono (satu) gami (hubungan) yaitu hubungan ekslusif hanya dengan satu pasangan, sedangkan non-monogami adalah kebalikannya yaitu hubungan yang terbuka atau open relationship. Mudahnya, open relationship adalah ketika dua orang berkomitmen untuk saling bersama namun juga punya kebebasan untuk bisa menjalin hubungan seksual romantis dengan orang lain.
Jenis hubungan non-monogami itu beragam, ada polyamory, open marriage, swinging, cuckholding, dll. Penting digarisbawahi bahwa hubungan ini juga sangat penting untuk ada konsen atau persetujuan antara kedua belah pihak yang disebut dengan consensually non-monogamous relationships (CNM) dimana kedua belah pihak sama-sama sepakat untuk menjalin open relationship di saat yang sama. Walau hubungan terbuka, tapi namanya komitmen ya tetap komitmen yang mesti dijaga, sehingga asas keterbukaan sangatlah penting. Hasil survey dan penelitian menunjukan mereka yang melakukan CNM lebih bahagia karena kejujuran menjadi jaminan, tidak seperti hubungan monogami yang rentan kebohongan dan perselingkuhan. Karena hubungan dilandaskan keterbukaan, maka mereka memiliki tingkat kesadaran proteksi kesehatan yang cenderung lebih tinggi. Risiko tertularnya penyakit membuat mereka lebih terbuka untuk melakukan pengecekan kesehatan seksual secara berkala.
Tapi eh tapi… ini hasil survey dan penelitian di US lhooo yaa..
lalu gimana dengan di Indonesia??
Kalian semua pasti udah tau donk ya US dan INA punya budaya dan norma yang jauh berbeda. Globalisasi, perkembangan peradaban, akultirasi budaya dsb tidak semata-mata bisa merubah norma dasar, pemikiran serta value. Lebih-lebih soal aktivitas seksual yang sampai saat ini masih dianggap pembahasan yang tabu.
Baca juga: Proposal Seks Untuk Pasutri
Menjadi CNM di Indonesia tidak bisa semudah seperti di US pada praktiknya. Hal ini bukan berarti karena masyarakat Indonesia tidak bisa berpikiran terbuka, tapi kembali lagi ini soal value, budaya dan kepercayaan yang sudah turun menurun. Merubah budaya soal pendidikan seksual dalam keluarga saja butuh waktu yang panjang lho.. apalagi soal perubahan gaya hidup ini. Walau kita hidup di negara yang sama tapi kembali lagi setiap orang punya prinsip yang beda-beda. Ada yang memang sangat menolak keras soal konsep open relationship, ada yang biasa-biasa aja tapi tidak untuk menjalani, dan ada juga yang memang sudah tertarik dan ingin banget punya relasi yang demikian.
Tentu kejadian seperti oknum dosen tidak akan terjadi ketika dalam pernikahannya sudah terbentuk pola diskusi intensif soal relasi yang dijalani. Bisa jadi pak dosen ini bosan dan sudah terlalu malas mengajak istri untuk membuat pola baru di ranjang sehingga mulai punya fantasi-fantasi untuk jadi swinger, apalagi di dukung dengan “riset” masuk ke situs-situs club swinger, makin jadi deh.
Padahal ketika suami punya keinginan untuk menjadi swinger sebenarnya bukan berarti suatu kesalahan, tapi yang penting apakah hal itu bisa diterima atau tidak oleh istri. Penolakan di awal kemungkinan ada, tapi justru disitulah momen komunikasi ranjang terbuka. Satu sama lain bisa saling mengungkapkan pendapat soal fantasi seksual masing-masing, terlebih soal CNM ini. Ruang diskusi ini tidak bertujuan untuk memaksa satu pihak untuk mesti menolak atau menerima, tapi bisa juga dijadikan sebagai momen untuk sama-sama saling mencari titik tengah. Karena ini soal value yang dianut yang sudah mengakar dan dipegang puluhan tahun. Untuk meningkatkan kualitas hubungan ranjang itu banyak kok, gak hanya jadi swinger. Asal saling punya niat untuk belajar pasti nemu jalan.
Menjadi monogami atau ekslusif bukan berarti harus terlihat lurus-lurus saja, asas keterbukaan dan kejujuran itu tetap nomor satu. Namanya hidup itu dinamis, terlebih dalam pernikahan sangat penting mendiskusikan setiap perubahan yang terjadi satu sama lain. Inilah yang dinamakan valueable relationship.
Menjadi swinger itu suatu kesalahan ketika tidak memegang prinsip keterbukaan, konsensual dan menggunakan teknik manipulatif agar pasangan akhirnya dengan mau melakukannya.