Siapa sih yang gak mau hidup bahagia? Saya yakin betul hampir sebagian besar orang pasti ingin bisa hidup bahagia. Istilahnya kebahagiaan itu menjadi salah satu tujuan utama dalam hidup.
Tapi bagi beberapa orang ada yang bingung apa arti kebahagiaan, ya?
Dalam pendekatan psikologi positif, kebahagiaan atau happiness dipahami sebagai emosi positif yang kita rasakan hasil dari memaknai aktivitas, kejadian atau peristiwa yang kita alami dalam kehidupan sehari-hari. Dalam literatur (Ryan & Deci, 2001) kebahagiaan juga disebut dengan Hedonia yaitu emosi positif tanpa adanya emosi negatif. Kata Hedonia sebenarnya berasal dari bahasa Yunani kuno yang kini sering kita sebut dengan kada hedon atau hedonis. Jadi sebenarnya hedon itu bukanlah representasi orang yang suka menghambur-hamburkan uang ya, tapi hedon adalah kondisi dimana seseorang merasa bahagia atas hidupnya. Sejak zaman Aristoteles, kebahagian sudah dikonseptualisasikan menjadi dua aspek, yaitu Hedonia (perasaan senang) dan Eudaimonia (perasaan bahwa hidup telah dijalani dengan baik).
Walau kini zaman sudah banyak berubah namun menurut saya kedua aspek tersebut masih sangat relevan. Saat kita bahagia dengan kondisi saat ini maka hal itu juga akan berpengaruh pada mood atau perasaan kita. Sudah banyak penelitian yang menyebutkan uang tidak bisa membeli kebahagiaan. Jadi ketika mengaitkan kebahagian dengan benda atau kepemilikan bisa dikatakan itu hanya kebahagiaan semu.
Selain itu, ada pula penelitian yang menyebutkan bahwa semakin kita terlalu mengejar kebahagiaan maka secara tidak langsung menunjukan bahwa diri kita belum bahagia, dan sering kali memiliki efek sebaliknya yaitu membuat kita menjadi egois (Mauss Et all, 2012). Namun demikian, kembali lagi ya definisi bahagia yang sebenar-benarnya itu nggak saklek, karena arti kebahagiaan itu subyektif.
Bila dikaitkan dengan pernikahan tentu saja menikah hanya untuk bahagia itu menjadikan kita punya ekspektasi yang tinggi saat menikah sudah pasti akan membawakan kebahagiaan. Padahal namanya pernikahan itu dinamis perjalananya dan dalam prosesnya pasti ada (ya pasti ada) kejadian-kejadian yang membuat kita tak bahagia. Makanya, banyak yang bilang namanya menikah mesti siap menghadapi kondisi-kondisi yang nggak nyaman, atau fase-fase berjuang. Jangan bayangkan fase berjuang itu seperti kita akan menghadapi pertikaian yang pelik ya, tapi fase berjuang itu lebih pada fase bertumbuh bersama.
Tentu saja sebelum kita memutuskan menikah kita mesti punya kriteria pasangan yang seperti apa yang bisa menjadi partner berjuang bersama. Untuk bisa memiliki partner berjuang tentu saja penting memiliki pola pikir serta visi misi yang sama pula dalam menjalani pernikahan. Sebab cinta saja tidak cukup bila tidak punya tingkat kohesivitas (keterikatan dan keterkaitan) yang baik dengan pasangan. Kohesivitas dibentuk dengan pola-pola komunikasi yang baik sehingga berdampak pada resolusi konflik yang digunakan dalam menghadapi persoalan yang ada. Hal itu juga berpengaruh pada kesamaan visi misi dalam membuat kebahagian bersama pasangan. Karena kebahagian itu suatu bentuk perwujudan bukan pencapaian.
Selain itu, sangat penting sekali untuk memiliki state bahagia di awal as personal, agar ekspektasi untuk bahagia dalam rumah tangga tak menjadikan diri egois. Sebab tak sedikit pasangan di luar sana memutuskan untuk berpisah karena alasan salah satu sudah merasa tidak bahagia. (Bedakan tidak bahagia karena ekspektasi dengan tidak bahagia karena kasus-kasus perselingkuhan atau pelanggaran komitmen)
Jika memang sedang kurang atau tidak bahagia dalam pernikahan saat ini, bisa jadi ini pertanda untuk mengevaluasi kembali pola-pola yang miss selama ini. Buat pola-pola baru dan buat kesepakatan bersama dalam mengarungi perjalanan bersama kedepannya.
A happy marriage is a selfless journey in which the happiness of another person is essential to your own. — George & Yvonne Levy